STOP LYING CULTURE!!
If a culture is based on emotional dishonesty, with role models that are dishonest emotionally, then that culture is also emotionally dysfunctional, because the people of that society are set up to be emotionally dishonest and dysfunctional in getting their emotional needs met.” – Codependence
Kalau kita mengamati banyaknya kebohongan-kebohongan dan ketidakjujuran yang
dilakukan oleh para pejabat di negeri ini, mungkin kita harus menyadari juga
latar belakang kenapa seolah-olah berbohong itu sudah menjadi sesuatu yang
mengalir di urat nadi mereka, menyatu dengan darah, hingga sudah menjadi
kebutuhan untuk tetap hidup. Disadari atau tidak, berbohong sebenarnya sudah
menjadi budaya yang ditanamkan kepada setiap manusia di dunia ini sejak mereka
lahir. Entah siapa yang memulai, ada semacam dogma yang mengawali segala
kebohongan itu sejak seorang bayi terlahir ke dunia.
Jika bayi itu laki-laki, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal
yang maskulin. Kemudian bayi laki-laki itu didoktrin hal-hal yang sebenarnya
kalau mau jujur seringkali ada yang bertentangan dengan kata hati mereka
sendiri. Misalnya kalau laki-laki tidak boleh cengeng, harus jantan, harus
berbadan tegap, harus ini, harus itu, dan segala harus yang berbau maskulin.
Tidak boleh lemah, dan lain sebagainya.
Jika bayi itu perempuan, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal
feminin ditanamkan dalam dirinya. Harus lemah lembut, tidak boleh agresif,
tidak boleh ini, tidak boleh itu, harus ini, dan harus itu, yang seringkali
juga bertentangan dengan kata hati mereka. Semua orang harus menerima itu
sebagai budaya. Meskipun tak suka, semua itu harus ditelan. Tidak boleh tidak
suka. Tidak boleh menyampaikan keberatan akan persyaratan-persyaratan yang
sudah diberlakukan untuk menjadi seorang laki-laki atau perempuan. Jika
melanggar batas itu, maka ia akan menjadi banci. Padahal belum tentu semuanya
suka. Tapi tak boleh menyatakan terus terang. Disuruh berbohong sejak lahir!
Disuruh menerima semua kebohongan akan perasaannya sendiri meski tak suka
dengan aturan-aturan atau doktrin yang dibuat masyarakat tentang bagaimana
seorang laki-laki atau perempuan harus menjadi dirinya. Itulah awal dari semua
kebohongan yang terjadi di dunia ini.
“When the role model of what a man is does not allow a man to cry or
express fear; when the role model for what a woman is does not allow a woman to
be angry or aggressive – that is emotional dishonesty. When the standards of a
society deny the full range of the emotional spectrum and label certain
emotions as negative – that is not only emotionally dishonest, it creates
emotional disease.”
Emotional disease, dalam bahasa Indonesianya, penyakit emosional.
Namanya saja penyakit, jadi sudah pasti itu tidak baik. Tetapi yang tidak baik
itu justru dipelihara dengan alasan supaya ada keseimbangan antar hubungan
manusia di bumi ini. Kenyataannya masa terus berganti, beberapa hal sudah tidak
sejalan lagi dengan doktrin yang dibuat mengenai bagaimana seharusnya
membedakan manusia laki-laki dan perempuan dari segi perilaku. Akar dari sifat
pembohong dan pura-pura ini sudah terlanjur tertanam kuat, maka penyakit
emosional ini dibiarkan saja tanpa pernah berusaha disembuhkan.
Lalu, apa hubungannya dengan mental para pejabat di negara ini yang suka
sekali berbohong? Mari kita coba kutip beberapa berita yang pernah dilansir
beberapa media.
*****
Detik.com Jakarta – Akhirnya anggota Badan Kehormatan (BK) DPR mengaku
mampir ke Turki. Pengakuan meluncur dari Wakil Ketua BK Nudirman Munir. Namun,
mengapa alasan anggota BK DPR tidak konsisten, alias mencla-mencle?
Liputan6.com Jakarta: Terdakwa kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan
akhirnya mengaku mendapat perlakuan istimewa dari Rumah Tahanan Mako Brimob,
Depok, Jawa Barat untuk berplesiran ke Bali.
KOMPAS.com Jakarta – Terdakwa kasus suap PT Salma Arowana Lestari, Sjahril
Johan, meminta kepada para pejabat yang menerima uang suap untuk mengaku dan
bersikap jantan saat membacakan nota pembelaan (pleidoi) di depan majelis hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Primaironline.com Jakarta – Faktor ekonomi menjadi alasan Kepala Rumah
Tahanan (Karutan) Markas Komando (Mako) Brimob Komisaris Iwan Siswanto menerima
suap dari terdakwa kasus korupsi Gayus Halomoan Tambunan. “Faktor ekonomi,
istri dari klien sakit-sakitan 10 tahun, sangat butuh biaya, dia mengakui
khilaf dan mengakui perbuatannya bertentangan dengan hukum,” ujar pengacara
Iwan, Berlin Pandiangan, di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (06/05).
*****
Kalau kita mengamati berita-berita di atas, maka kita akan melihat bahwa
pada dasarnya, mereka melakukan itu seperti berjudi. Saat sedang beruntung,
aman, maka kebohongan mereka tak akan terungkap. Tetapi jika salah satu
rangkaian dari rantai kebohongan itu putus, maka berserakanlah rantai yang lain
dan saat merasa terancam akan membongkar kebohongan-kebohongan selanjutnya.
Apakah kebohongan-kebohongan yang mereka hasilkan adalah hasil dari kebohongan
yang tiba-tiba saja dilakukan?
Tentu saja tidak.
Saat manusia didoktrin untuk tidak terlalu jujur sejak bayi, maka saat
itulah penyakit emosional yang bernama bohong telah mulai secara perlahan merasuk
dalam aliran darah dan menjadi makanan sehari-hari mereka. Pada orang-orang
yang mendidik anak-anaknya dalam kesederhanaan dan tak suka menekan anaknya
untuk melakukan kebohongan atas dasar pemuasan hati orangtua, maka sang anak
akan lebih leluasa bersikap jujur dan apa adanya.
Kejujuran, sikap terbuka, dan tak suka berpura-pura akan membuat si anak
juga memilih teman-teman yang sejalan dengannya. Lalu, saat memilih pasangan
hidup, akan juga memilih pasangan yang dapat menerima keadaan dirinya tanpa
perlu berbohong lebih banyak lagi. Hidup dijalani tanpa harus memperparah
penyakit emosional hasil bentukan budaya masa lalu.
Betapa memuakkan melihat proses pengadilan pejabat yang selalu saja
mempertahankan kebohongannya. Saat banyak masyarakat yang berjuang sampai titik
darah penghabisan untuk menghidupi keluarganya, para pembohong kakap
ini berjuang sampai titik duit penghabisan untuk menutupi
kebohongan mereka. Bahkan duit yang mereka dapat dari hasil memakan uang yang
bukan hak mereka!
Politik memang katanya tak ada yang jujur, tapi bukan berarti kita harus
mengikuti arus untuk membiarkan penyakit emosional seperti berbohong itu
berkelanjutan karena tuntutan kita akan pribadi anak-anak kita yang patuh pada
kebohongan hingga tak sempat menjadi diri mereka sendiri. Jika kita memberikan
kesempatan kepada anak-anak kita untuk menjadi manusia seutuhnya, membiarkan
mereka melakukan pilihan-pilihan tanpa doktrin apa pun, tanpa tekanan untuk
berbohong dan membohongi diri mereka, mungkin mental bangsa ini sedikit demi
sedikit, meski lama, akan dapat diperbaiki.
Stop membudayakan kebohongan!
Stop membudayakan kebohongan!
No comments
Post a Comment