Karier yang gemilang, pencapaian
karier yang membanggakan, sekaligus menjaddi istri yang baik, ibu yang
berdedikasi kepada anak-anaknya, dan kehidupan sosial dan pribadi yang membuat
iri: Can woman have it all?
Bagi saya mungkin pertanyaan “Can
woman have it all?” adalah pertanyaaan yang keliru untuk di tanyakan. Karena
pertanyaan tersebut mengangsumsi bahwa memiliki segalanya adalah lebih baik
dari hanya memiliki sebagian. Jika “segalanya” berarti memiliki rumah tangga
dan kehidupan pribadi yang sempurna maka apabila perempuan hanya memiliki
karier saja rasanya tidak lengkap. Sebuah kompromi , kondisi di bawah dari yang
ideal.
Mungkin pertanyaan yang lebih
tepat untuk ditanyakan adalah , “Can
woman be happy with their choice, whatever it is?” BIsakah perempuan
bahagia dengan pilihannya, apapun itu? Karena menurut saya tidak ada pilihan
superior dari pilihan lainnya. Menjadi perempuan yang fokus di karier, working mom, atau full time mom, semuanya adalah pilihan yang sama mulianya. Karena
setiap perempuan memiliki latar bekakang, tata nilai, preferensi yang
berbeda-beda, dan mereka berhak menentukan pilihan hidup yang dianggap terbaik
oleh diri sendiri, bukan orang lain.
Kebahagiaan, harusnya menjadi
tolak ukur terakhir dari sebuah pilihan hidup, bukan status pernikahan atau
status karier. Sebagai contoh: apakah seorang perempuan menikah yang menderita
sebagai korban KDRT bernasib lebih baik dari seorang single yang menikmati kariernya?
Dalam hal ini status “menikah” ternyata tidak berkorelasi dengan kebahagiaan.
Dan kebahagiaan adalah sesuatu yang subyektif, yang hanya bisa didefinisikan
dan dirasakan oleh pelaku hidup, dan bukan di paksakan orang lain.
Perempuan single memilih fokus
berkarier, misalnya, masih sering di cemooh oleh orang-orang dengan melabelnya
dengan perempuan “kesepian” atau “tidak laku”. Tidak peduli dengan pencapaian
mereka di bidangnya , sepanjang ia tidak memiliki suami (atau minimal pasangan
tetap), maka selalu ada “concern” di tatapan yang di terima nya.
Bagi saya, ini hal yang absurd,
dan tidak sesuai dengan apa yang saya lihat. Jika tolak ukur terpenting adalah
kebahagiaan subyektif, maka saya melihat banyak perempuan single yang bahagia
dengan kehidupan mereka. Mereka menikmati
tantangan pekerjaan, menikmati interaksi dengan staff dan kolega dan
klien mereka, menikmati hasil pekerjaan mereka, dan juga menikmati pendapatan
serta financial freedom mereka sendiri. Sebagian memang masih mendambakan pasangan
hidup, tapi bukan berarti mereka menangis meraung-raung setiap hari karena satu
aspek kehidupan ini saja.
Mereka yang single dan bekerja
bisa bahagia karena bagi mereka relationship bukan segala-galanya. Hidup lebih
besar dari sekadar urusan romansa dan menikah. Dan kerenanya kebahagiaan tidak
bergantung pada satu aspek hidup semata. Ada banyak hal dalam hidup yang bisa
memberi makna dan kebahagiaan itu sendiri.
Bagaimana dengan perempuan yang
memilih menikah dan tetap bekerja? Sekali lagi pertanyaan yang tetap adalah
apakah mereka bahagia dengan jalan hidup nya ini. Seringkali orang luar memiliki
prejudice (prasangka) tertentu
mengenai perempuan berkeluarga dan bekerja. Seolah-olah mereka pasti tidak bahagia, pasti menelantarka anak dan suami. Tapi
apakah benar demikian asumsi ini? Bahwa working
mom harus lebih terampil dalam men-juggle
waktu, itu tentu bisa di mengerti. Tetapi hal itu tidak mungkin bisa di
lakukan juga hal yang tidak benar. Saya melihat sendiri banyak kolega dan rekan
kerja saya adalah seorang ibu dan seorang pekerja. Kemudian mereka menjadi ibu
yang memerhatikan kebutuhan anak dan suami, tanpa harus harus mengurangi
produktifitas mereka sebagai seorang professional. Generalisasi pada dasarnya
sesuatu yang harus di hindarkan. Realitasnya, banyak perempuan yang mampu
menjalankan peran ganda bahkan multiple role. Kita tidak boleh menuduh semua
perempuan tidak dapat melakukan itu.
Asumsi lain yang sering di gunakan
adalah anak-anak ibu bekerja pasti terlantar, atau memiliki perkembangan
psikologis yang tidak optimal. Benarkah demikian? Sekali lagi, asumsi harus di
buktikan dengan validasi data.
Sebuah penelitian dari Harvard Business School yang
di kutip oleh The New York Times menunjukkan bahwa anak-anak yang di besarkan
oleh ibu bekerja justru memiliki banyak kelebihan. Studi yang di lakukan di 25
negara menunjukkan bahwa ibu bekerja yang membesarkan anak-anak perempuannya
dapat menyelesaikan pendidikan lebih tinggi, lebih mungkin mendapatkanpekerjaan
manajerial, dan mendapatkan pedapatan yang lebih tinggi. Bagaimana dengan anak
laki-laki yang memiliki ibu bekerja? Walaupun tidak ada efek terdapat pengaruh
karier mereka, anak-laki-laki dari ibu bekerja lebih mau ikut urus anak-anak
dan mengerjakan pekerjaan rumah kelak. Penelitian meta analysis (penelitian atas
penelitian) dari 69 studi selama 50 tahun juga menemukan bahwa anak-anak yang
memiliki ibu bekerja tidak memiliki masalah terhadap motivasi belajar, perilaku
maupun kehidupan social. Bahkan anak-anak ini cederung lebih berprestasi di
sekolah dan cenderung lebih tidak depresi atau khawatir berlebihan.
Penelitian di atas
menunjukan kita harus bisa mempertanyakan asumsi dan prasangka yang seringkali
di tuduhkan kepada ibu bekerja. Asumsi bahwa ibu bekerja pasti mengorbankan
anaknya hanyalah sebuah asumsi, dan bukan sebagai realita. Dan bagi sebagian
perempuan bekerja, justru anak-anak mereka mendapatkan keuntungan dalam bentuk
teladan (role model) mengenai keseimbangan dan pilihan perempuan sampai
kesediaan berbagi pekerjaan rumah.
Seorang rekan kerja saya
menceritakan pandangan nya mengenai hal ini secara lebih luas. Dia memiliki seorang
istri yang mana pekerjaanya adalah seorang professional. Bagi nya sebagai
seorang suami, ia lebih menyukai istri nya bekerja, apalagi bidangnya sama
dengan dirinnya. Hal tersebut menjadi kelebihan bagi dirinya di karenakan ia
dan istrinya dapat berdiskusi mengenai pekerjaan. Karena istri bekerja, dia
bisa lebih empati dengan kesulitan pekerjaan dan dapat memberikan dukungan yang
tepat sesuai situasi. Begitu pun ia sebaliknya, rekan kerja saya ini baginya ia
senang melihat istrinya aktif bekerja, karena menurutnya ia bisa melihat
istrinya yang cerdas dan bertalenta yang tidak menyiayiakan karunia dan
potensinya itu. Dia menambahkan yang lebih penting baginya ia dapat melihat
istrinya bahagia menegerjakan pekerjaan nya atau peran
yang istrinya ambil. Sorotan mata saat bercerita pada saya menjelaskan bahwa ia
tahu betul bahwa apabila istrinya tidak bekerja maka hal itu akan membuat
istrinya susah hati, dan sebagai pasangannya, her happiness matters. Toh baginya kesibukan istri bekerja tidak
pernah ia merasa kesibukannya megorbankan keberadaan kebutuhan nya sebagai
laki-laki dan suami. Jadi kesimpulan
yang bisa saya tarik adalah selama tidak ada yang di rugikan, kenapa tidak?
Saya pun mendapatkan statement closing dari nya yang
menyatakan bahwa apabila ketika istri bekerja dan mereka tidak merasa keberatan
satu sama lain dan saling berbahagia maka ia pun mendapatkan peace of mind bahwa jika kelak mereka di
karunia anak, ada dua income yang
bisa menjamin kesehjahteraan anak-anak nya, Pun jika amit-amit ada musibah menimpa dirinya, istrinnya dapat menjadi pilar
keluarga dan tujuan nya membangun keluarga tetap terjalani .
Kembali ke pertanyaaan awal, ”Can
woman have it all’?
Jika kita sepakat bahwa pertanyaan
ini keliru, maka lebih tepatnya untuk mengajukan pertanyaan rasanya bisa
menjadi “CAN be happy with their choice. Tidak ada pilihan yang buruk. Menjadi
ibu rumah tangga atau full time mother pun juga hal yang baik dan mulia. Apapun
peran nya semua harus di tanyakan kembali, apakah hal tersebut membuatnya
bahagia dengan pilihan nya sendiri? Setiap pilihan sudah pasti mengandung
risiko, tantangan dari kesulitannya sendiri-sendiri, namun sebagai manusia
berpikir dan mendewasa tidak seharusnya men-judge
suatu pilihan sesorang dengan satu
standar. Perempuan Indonesia memiliki passion, ambisi, dan kemampuan yang
berbeda-beda. Bagaimana mereka menjalankan pilihan hidup mereka kembali ke diri
mereka masing-masing.
And if you happy with your choice, isn’t it all the
matters?
-deeshanty-
No comments
Post a Comment