SLIDER

Notes About Separation...


Perpisahan, sebagaimana kematian, adalah hal yang paling dihindari manusia. Padahal sama seperti pertemuan dan kelahiran, kedua sisi itu melengkapi bagai dua muka dalam satu koin. Hadir sepaket tanpa bisa dipisah. Seberapa lama jatah kita hidup, kita tidak pernah tahu. Yang jelas, kita selalu berjuang setengah mati untuk bisa menerima mati. 

Saya sempat termenung melihat salah satu adegan dalam film “Earth” di mana seekor kijang berlari sekuat tenaganya hingga pada satu titik dia begitu berpasrah saat digigit oleh harimau, menghadapi kematiannya dengan alami. Adegan yang tadinya begitu mencekam akhirnya bisa berubah indah saat kita mampu mengapresiasi kepasrahan sang kijang terhadap kekuatan yang lebih besar darinya. Persis bagaikan kijang yang berlari, manusia dengan segala macam cara juga menghindari kematian. Orang yang sudah tidak berfungsi pun masih ditopang oleh segala macam mesin agar bisa hidup. Perpisahan tak terkecuali. Kita pasti akan berjuang habis-habisan untuk bertahan terlebih dahulu. Namun, sebagaimana kijang yang akhirnya berlutut pasrah, sekeras-kerasnya kita menolak kematian dan perpisahan, setiap makhluk bisa merasakan jika ajal siap menjemput, jika ucapan selamat tinggal siap terlontar. Dan pada titik itu, segala perjuangan berhenti.

Dalam semua hubungan, kita bisa saja menemukan 1001 alasan yang kita anggap sebab sebuah perpisahan. Namun saya percaya, penyebab yang paling mendasar selalu sederhana dan alami: memang sudah waktunya. Hidup punya masa kadaluarsa, hubungan pun sama. Jika tidak, semua orang tidak akan pernah mati dan semua orang tidak pernah ganti pacar dari pacar pertamanya. Kita bisa bilang, putusnya hubungan A karena dia selingkuh, karena bosan, karena ketemu orang lain yang lebih menarik, belum jodoh, dan masih banyak lagi. Padahal intinya satu, jika memang sudah waktunya, perpisahan akan menjemput secara alamiah bagaikan ajal. Bungkus dan caranya bermacam-macam, tapi kekuatan yang menggerakkannya satu dan serupa. Tentu dalam prosesnya kita berontak, protes, menyalahkan ini-itu, dan seterusnya. Namun hanya dengan terus berproses dalam aliran kehidupan, kita baru menyadari hikmah di baliknya.

Jadi, semua faktor yang selama ini diabsahkan orang-orang sebagai penyebab perpisahan (orang ketiga, KDRT, tidak dinafkahi, dan lain-lain) menurut saya sebenarnya adalah gejala yang terlihat, bukan penyebab. Sama halnya batuk sebagai gejala penyakit flu. Batuk bukan penyebab, tapi gejala penyakit yang terlihat. Kita sendiri tidak bisa melihat virusnya, cuma merasakan akibatnya, yakni batuk atau beringus. Tapi seringkali kita tertukar memilah mana efek dan mana sebab, hanya karena efek yang terlihat lebih mudah dijelaskan. Alasan sesederhana “memang sudah waktunya” dirasa abstrak, teoritis, filosofis, dan mengada-ada.

Oktober 2012 adalah momen penyadaran saya dengan mantan pasangan saya, saat kami merasa bahwa hubungan kami sudah kadaluarsa. Susah sekali kalau disuruh menjelaskan: kok bisa tahu? Tapi kami sama-sama merasakan hal yang sama. Dan pada saat itulah kami memutuskan untuk belajar berpisah, saling melepaskan. Jadi, masalah intinya bukan memaafkan dan memaklumi efek apa yang terlihat, tapi menerima bahwa inilah adanya. Hubungan yang kadaluarsa. Perkembangan yang akhirnya membawa kami ke titik perpisahan. Dan, untuk sampai pada penerimaan ini, dua tahun saya jalani dengan berbagai macam cara: meditasi, penyembuhan diri, dan sebagainya, hingga kami bisa saling melepaskan dengan lapang dada, dengan baik-baik, dengan pengertian, dengan kesadaran hingga semua berakhir di Febuari 2013. Alasan perselingkuhan adalah alasan klasik. Pada saat tersebut saya tidak bisa menerima segala apapun, walalupun kesadaran untuk berpisah sudah memuncak, tapi ego saya berkata lain, bukan cara seperti ini yang saya inginkan pada saat itu. Kehidupan selama 8 tahun bersama, kemudian mengenal di akhiri dengan permisi yang terpaksa di akhiri. Saya pun memahami bahwa Tuhan memiliki caranya sendiri bagaimana kami harus berakhir. Dan kami hanya harus menerima nya saja. Perselingkuhan ataupun alasan lain hanya sebagai penyimpulan akhir bahwa kami harus berpisah, agar memudahkan kami untuk bergerak di jalur masing-masing. Meskipun pada dasarnya saya mengerti, masa kami sudah habis. Sudah waktunya berpamit.

Memaafkan bagi saya adalah menerima. Menerima kondisi kami apa adanya. Segala penyebab mengapa sebuah kondisi tercipta, barangkali kita cuma bisa tahu sekian persennya saja. Tidak mungkin diketahui semua. Apalagi dimengerti. Sama halnya saya tidak tahu persis kenapa dulu bisa bertemu dengan mantan saya, bersama, dan seterusnya. Fate, atau destiny, menjadi cara manusia menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan. Perpisahan pun sama hukumnya. Meski sepertinya keputusan berpisah ada “di tangan kita”, tapi ada sesuatu kekuatan yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.

Namun seringkali konsep “memaafkan” yang kita kehendaki adalah kemampuan untuk mengembalikan situasi ke saat sebelum ada masalah. Alias rujuk lagi seperti dulu. Dan keinginan kami untuk berpisah dianggap sebagai ketidakmampuan kami untuk saling memaafkan. Menurut saya, pemaafan yang sejati hanya bisa diukur oleh masing-masing pribadi, di dalam hatinya sendiri. Dan bagi kami, dalam masalah ini, “memaafkan” tidaklah identik dengan “pengembalian situasi ke kondisi semula”. Dalam proses pemaafan ini, kami pun bertumbuh. Dan di sinilah saya menyadari, dinamika kami sebagai pasangan lebih baik disudahi sampai di sini. Kami menemukan wadah yang lebih kondusif untuk menopang dinamika kami sebagai dua manusia, yakni sahabat tanpa wadah pernikahan yang kami inginkan dulu.

Lantas, orang-orang pun berargumen: semua pasangan menjadi sahabat! Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Bahkan ada pasangan yang menjadi musuh bagi satu sama lain meski mereka tetap bersama di status yang sama. Ketika sepasang pasangan menjadi sahabat, mereka tentu bisa merasakan wadah apa yang paling tepat untuk menopang dinamika mereka. Jika hubungan masih dirasakan sebagai wadah yang pas, maka mereka akan meneruskan persahabatan dalam cangkang tersebut. Evolusi saya dan mantan saya ada di kompartemen yang lain lagi. Cangkang kebersamaan tidak lagi kami rasakan sebagai wadah yang “pas”. Jika dijalankan pun, cuma jadi kompensasi sosial yang alasannya bukan lagi kebahagiaan kami, melainkan kebahagiaan keluarga, sahabat, dan seterusnya. Satu opsi yang menurut saya sangat tidak sehat, membunuh pelan-pelan, dan kepalsuan berkepanjangan.

Kita sebagai individu harus bisa merasa bahagia terlebih dahulu sebelum bisa membahagiakan orang lain. Analogi yang barangkali bisa membantu menggambarkan ini adalah petunjuk emergensi di pesawat. Dulu, saya sering bingung, kenapa orang tua disuruh memakai masker oksigen duluan sebelum anaknya. Sekarang saya mengerti, dan setidaknya ini adalah kebenaran bagi saya: kita tidak bisa membahagiakan orang lain sebelum kita sendiri bahagia. Satu buku yang sangat terkenal, “Celestine’s Prophecy”, juga bicara soal ini. Kita harus “penuh” dulu sebelum bisa “memenuhi” orang lain. Cinta bukanlah dependensi, melainkan keutuhan yang dibagi.


Kita berbuat sesuatu karena itulah yang kita anggap benar bagi diri kita sendiri. Dan kebenaran ini sangatlah relatif. Jika ada 6,5 miliar manusia di dunia, maka ada 6,5 miliar kebenaran dan ukuran kebahagiaan. Norma berubah, agama berubah, sains berubah, segalanya berubah dan tidak pernah sama. Kebahagiaan pun sesuatu yang hidup, berubah, dan tidak statis.

Misal jika kita menilik permasalahan perpisahan yang lebih serius, yaitu perceraian. Dimana perceraian terjadi di atas hadirnya seorang anak. Persepsi seseorang mengenai perceraian ayah bundanya sebagai egoisme orang tua yang tidak dapat mempertimbangkan kehidupan anaknya.  Mempertahankan pernikahan bukan karena anak, dan kalaupun bertahan menikah, seharusnya juga bukan karena anak. Karena kalau cuma karena anak, dengan demikian seseorang menaruh beban yang luar biasa besar dan bukan porsinya anak, bahkan pasangan berpisah tersebut menjadi seseorang yang tidak bertanggungjawab, dengan meletakkan fondasi pernikahan pada seorang anak. Ini barangkali bukan pandangan yang umum. Kita tahu betapa banyak orang di luar sana yang bicara bahwa anak harusnya menjadi pengikat, bahkan dasar. Bagi saya, bukan tali atau fondasi. Dia adalah anak panah yang akan melesat sendiri satu saat nanti. Kewajiban utama saya nantinya sebagai orangtua adalah menjadi manusia yang utuh agar saya bisa membagi keutuhan saya dengan anak saya nanti. Dan keutuhan jiwa saya tidak saya letakkan dalam pernikahan, tidak juga pada siapa-siapa, melainkan pada diri saya sendiri. Beruntungnya saya memahami ini karena kebersamaan saya dengan sahabat yang jauh lebih tua dan yang saya hormati untuk melewati masa-masa sulit hidupnya dan membagi pengalaman dan perasaannya pada saya. Saya mengerti, bahwa seseorang yang menikah itu adalah karena dua individu yang berbeda, yang ingin membangun suatu wadah kebersamaan yang membahagiakan, saling mengusahakan satu sama lain. Yang mana bisa jadi wadah pernikahan bisa jadi rumah untuk mereka atau neraka untuk anggota keluarganya. Ini bukanlah frasa peryataan bahwa saya pasti akan bercerai jika saya berkeluarga nanti, namun lebih memahami sedasar mungkin bahwa setiap individu yang hidup nantinya akan berpisah dengan cara dan akhir yang kita tidak tahu tapi harus siap dengan segala apapun.

Membahagiakan orang terkasih, keluarga, masyarakat, juga menjadi keinginan setiap orang termasuk saya. Tapi saya pun tidak bisa selamanya mencegah mereka semua dari ketidakbahagiaan. Karena apa? Seseorang berbahagia karena dirinya sendiri. Kebahagiaan bukan mekanisme eksternal, tapi internal. Ilustrasinya begini, dua orang sama-sama dikasih apel, yang satu bahagia karena memang suka apel, yang lain kecewa karena sukanya durian. Berarti bukan apelnya yang bisa bikin bahagia, tapi reaksi hati seseoranglah yang menentukan. Yang tidak suka apel baru bisa bahagia kalau akhirnya dia bisa menerima bahwa yang diberikan kepadanya adalah apel dan bukan durian—sebagaimana yang dia inginkan. Alias menerima kenyataan. Saya tidak bisa membuat siapa pun berbahagia, sekalipun saya ingin berpikir demikian. Kenyatannya, hanya dirinya sendirilah yang bisa. Saya hanya bisa menolong dan memberikan apa yang orang tersebut butuhkan, SEJAUH yang saya bisa. Namun saya tidak memegang kendali apa pun atas kebahagiaannya.

Seseorang lantas bertanya pada saya, ketika saya menyuarakan pandangan saya mengenai perpisahan seperti ini: Tuhan seperti apa yang saya anut? Karena kasih sayang Allah SWT seharusnya mengingatkan orang yang berpisah untuk terus bersatu (terutama dalam pernikahan), sebab tidak ada Tuhan yang menyukai perpisahan. Bagi saya, Allah SWT berada di luar ranah suka dan tak suka. Jika dunia ini berjalan hanya berdasarkan kesukaan Tuhan, dan Tuhan hanya suka yang baik-baik saja, mengapa kita dibiarkan hidup dengan peperangan, dengan air mata, dengan patah hati, dengan ketidakadilan, dengan kejahatan? Mengapa harus ada hitam bersanding dengan putih? Lantas, kalau ada orang yang kemudian berargumen bahwa bagian hitam bukan jatahnya Tuhan tapi Setan, maka jelas Tuhan yang demikian bukan Yang Maha Kuasa. Ia menjadi terbatas, kerdil, dan sempit. Bagi saya, Tuhan ada di atas hitam dan putih, sekaligus terjalin di dalam keduanya. Tidak ada yang bukan kuasa Allah SWT. Ia tak mengenal konsep “kecuali”. Allah SWT ingin kita belajar, sebagai hambaNya di dunia ini, Dia ingin mengajarkan bahwa apa yang ada di dunia ini, pemberiaNya adalah sebuah ujian. Hanya sebuah titipan yang mana selalu ada tanggal expired nya, dimana Yang Maha Pemberi berhak memintanya kapan saja dan dalam kondisi terima atau tidak terima. Bahwa makhluk yang hidup akan selalu di uji, kemudian mengaku bahwa Dia lah Yang Maha Kuasa, mengaku sebagai hamba, dan berserah terhadap apapun yang terjadi.

Selama beberapa hari terakhir pada saat itu, begitu banyak pesan dan komentar yang dilayangkan pada kami. Dari mulai bertanya, kecewa, prihatin, sedih, kaget, bahkan bak seorang Nabi bernubuat, ada yang meramalkan ini-itu sebagai konsekuensi keputusan kami. Tak sedikit juga yang memilih tidak berkomentar dan bertanya, hanya memberi dukungan. Saya berterima kasih untuk semua. Saya  pun tak meminta banyak, hanya satu hal: menghargai keputusan. Kami selamatkan di sini adalah keutuhan hati dan jiwa masing-masing. Karena buat saya, itu lebih penting daripada hubungan utuh tapi dalamnya rapuh. Itu mengapa setiap perpisahan yang terjadi setelah perpisahan tersebut saya tidak merasa kehilangan apapun, tidak lagi banyak mengalami trauma, tidak takut untuk melangkah, menyerap bnayak pelajaran dan ilmu dari setiap kejadian tersebut, banyak belajar lebih “legowo”, menerima, dan percaya ini sudah kehendak dan garisNya, bahwa tidak ada sesuatu yang luput dariNya. Bahkan ketika tulisan ini dibuat saya yakin, Dia melihatnya, dan mengizinkan saya menuliskan hal ini. Hidup terasa lebih ringan ketika semua hal di serahkan padaNya, dan membiarkan Allah SWT yang mengaturnya. Termasuk di dalamnya adalah jodoh, yang masih misteri bagi saya.

Lalu, hendak ke mana setelah ini? Saya tidak tahu. Apakah akan ada penyesalan di setiap perpisahan yang terjadi dan menghampiri saya? Sama sekali tidak.. Apa pun yang menanti saya sesudah ini, itulah konsekuensi, tanggung jawab, dan karma saya. Pahit atau manis. Tak seorang pun yang tahu. Namun inilah pelajaran hidup yang menjadi jatah saya, dan saya menerimanya dengan senang hati. Saya tidak berdagang dengan Tuhan. Setiap detik dalam hidup adalah hadiah. Setiap momen adalah perkembangan baru. Bagi saya, itu sudah cukup. Bagi saya, itulah bentuk kesadaran.

Jadi, kalau pertanyaan emas itu kembali dilontarkan: apa penyebab seseorang itu berpisah? Mereka sadar, menerima, dan memaafkan bahwa hidup telah membawa mereka ke titik perpisahan.

Abstrak? Filosofis? Teoritis? Utopis? Saya sangat mengerti mengapa label-label itu muncul. Kebenaran kadang memang sukar dipahami. Hanya bisa dirasakan. Sama gagapnya kita berusaha mendefinisikan Cinta. Pada akhirnya, kita cuma bisa merasakan akibatnya.

Salam,

~ Dee ~


No comments

Post a Comment

© deeJourney • Theme by Maira G.