SLIDER

3 KUALITAS LAKI-LAKI MAHAL DI MATA SEORANG WANITA

3 KUALITAS LAKI-LAKI MAHAL DI MATA SEORANG WANITA

Saturday, December 19, 2015


Judul diatas memang terkesan komersil dan umum bagi para pria yang ingin mengetahui kualitas seperti apa yang akan membuat banyak wanita mengagumi nya.  Saya seorang wanita yang tahu persis laki-laki seperti apa yang terlihat mahal di mata wanita. Berbagi rahasia obrolan wanita akan saya tulis di blog ini. Tujuan dari penulisan ini bukan untuk menggurui, tapi memberikan gambaran agar setiap hubungan antara pria dan wanita dapat terhubung dengan sangat apik. Lets scroll down and lets me breakdown!

Banyak wanita yang menilai bahwa laki-laki yang mahal itu yang bisa jadi imam, mapan, bertanggung jawab, baik dan setia. Mungkin tampan adalah bonus yang tidak bisa di elakan juga, meskipun jika ditanya kepribadian seorang pria-lah yang menjadi prioritas utama. Namun sayangnya, banyak diantara wanita yang kurang spesifik menggambarkan laki-laki berkualitas dan mahal seperti apa yang di inginkan oleh kaum wanita. Sebagian mungkin malu, sebagian mungkin tidak tahu apa yang dicari atau sebagian lain tidak tahu menggambarkanya. Akhirnya karena kurangnya analisa dan kepekaan tinggi, seringkali menerima yang asal baik, asal kaya, asal usaha, dan asal-asalan #lol
Berikut saya berikan 3 kualitas Pria Mahal di Mata Wanita

1.    Lembut dalam cintanya
2.    Setia dalam kehidupannya yang sibuk
3.    Menjadikan wanitanya harta termahalnya.

Baiklah, saya jelaskan satu persatu secara detail mengenai tiga kualitas yang harus di miliki oleh seorang pria berkualitas dan mahal. Di mulai dari lembut dalam cintanya. Lembut dalam cintanya artinya laki-laki ini sabar. Karena wanita itu seringkali bertingkah, kemauannya tidak jelas, salah tetapi menyalahkan laki-laki, tidak mau bicara tapi mengharuskan pria nya mengerti, right? dan laki laki yang bisa lembut itu artinya bersabar terhadap wanita yang mengesalkan baginya. Lalu apa alasan mengapa lembut dalam cintanya? Pria tersebut dapat mencintai dengan ketulusan, dan keikhlasan. Bukan karena sabar kemudian lembut karena ada mau nya. Laki-laki yang mahal itu ia mencintai dengan hatinya dan dalam proses mencintai itu ia bersabar terhadap prilaku wanitanya yang belum sesuai dengan inginnya. Disinilah tantangan para laki-laki untuk menunjukan diri layakah untuk di ikuti? Layakah menjadi seorang imam? Apabila jika menghadapi hal itu saja, banyak yang mundur perlahan. Bukan untuk bersabar  dalam mengarahkan wanitanya . Dalam setiap hubungan itu harus ada penyesuaian diri. Antara pria dan wanita. Biasanya, apabila wanitanya belum sesuai dengan harapan pria tersebut, pria merasa di awal hubungan seperti di uji oleh wanitanya. Seperti “membebani, menguji kemarahan dan kekesalan, menguji daya tahan dan daya juang, melukai, dan mengecewakan”. Maka wanita yang memilih pria mahal yang lembut dalam cintanya artinya adalah hasil penerimaan dari sifat-sifat wanitanya. Kemudian bersabar karena tahu wanita itu penting untuk kehidupan masa depanya. Pernah dalam situasi saya mendengar Ayah saya berdiskusi dengan kakak sepupu saya yang telah menikah, kemudian beliau mengatakan 
Wanita itu seperti biji kopi sekelas Panama Geisha dan Ethiopian Yirgacheffe, kalau kita sebagai pria atau suami yang membuat kopi---memperlakukanya tidak tepat, rasa terbaiknya tidak akan keluar. Aroma khasnya, rasa aslinya seharusnya tidak keluar. Rasanya tidak pas. Butuh waktu lebih dari dua tahun dulu, Om memperlakukan tante kamu sebagaimana dia diperlakukan. Kemudian sepupu saya bertanya, “Dari mana Om tahu, sudah melakukan yang tepat? Ayah kemudian menimpalinya dengan mengatakan dari perlakuan tante ke om. Memang butuh belajar lama, butuh salah juga, tidak apa-apa. Yang penting kita sabar, tekun, penuh kesungguhan, seperti ketika kita membuat kopi. Bedanya dengan kopi, kalau kita sudah bingung dan putus asa kita bisa cari caranya di internet. Tinggal google. Wanita atau istri kita tidak bisa begitu, harus kita coba dan cari tahu caranya sendiri.

Selanjutnya yang kedua adalah, Setia dalam kehidupan yang sibuk. Setia yang di maksud disini adalah bukan yang tidak pernah kemana-mana, hanya ingin berdua saja dengan wanitanya secara terus menerus, kemudian membatasi diri dari pergaulan wanita lain. Hal itu adalah kesetiaan yang wajar, yang pada umumnya. Tapi yang di maksud dengan setia dalam kehidupan yang sibuk adalah laki-laki tersebut tetap beraktifitas dengan bertemu dengan banyak orang, yang diantaranya adalah wanita-wanita lain di kehidupan profesionalnya, tetapi ia tetap setia. Pria tersebut dimata wanita begitu sangat mahal, entah sedang berada dalam kota atau luar kota bahkan bertugas ke luar negeri, ia memilih untuk melihat wanitanya sebagai yang utama untuk di setiakan. Tidak memanjakan mata dan hasrat nya untuk di tukar dengan integritas kepribadianya terhadap loyalitas dan komitmen yang sudah terjalin. Meskipun di luar sana ia dapat atau memiliki kesempatan besar untuk berselingkuh.

Sibuk yang di maksud disini bukan sibuk tanpa hasil. Pria yang bisa setia dalam kesibukanya pasti kesibukanya bernilai. Kesibukanya yang menjadikanya lebih ahli, semakin di butuhkan, mahal, dan di bayar tinggi serta di hormati di lingkungan profesionalnya. Banyak orang yang tidak melihat bahwa ada korelasi antara hubungan dengan kesetiaan dengan pasanganya atau wanita nya dalam kehidupan yang sibuk itu yang kian menjadikan pria itu lebih sejahtera bahkan lebih kaya.  Menjadikan dirinya setia pada satu hal terlebih dahulu, yang memiliki keseriusan dan komitmen yang tinggi, menganggap hal tersebut sebagai bentuk keseimbangan awal dalam setiap langkah hidupnya. Contoh, apabila ada seorang pria yang bekerja sangat sibuk kemudian jauh dari keluarga termasuk istrinya, dan ia mencoba “bermain” dengan wanita lain di luar komitmen nya, maka itu akan menjadi rangkaian setan yang sulit untuk di akhiri. Pria tersebut akan ketagihan dengan selingan seperti itu, uang habis, tenaga habis, pikiran habis, dan cinta yang harus di berikan kepada istrinya dirumah sudah tak bersisa karena melihat istrinya tak lagi semenarik wanita itu. Istri merasa di acuhkan, pertikaian tiada henti, wanita lain tersebut kemudian hari datang meminta pertanggung jawaban, istri mengetahui, doa istri tak lagi jadi penawar kesuksesan sang suami yang kemudian berganti menjadi kebencian dan rasa sakit hati, berita domestik tersebut terdengar oleh rekan profesionalnya, promosi jabatan di batalkan, mutasi jadi pilihan terakhir, perceraian menjadi ujung tombak, wanita lain merongrong minta di nikahi, anak-anak di bawa oleh ibunya, tidak dapat bertemu dengan anak-anaknya, muka tak lagi tahu mau di letakan dimana, karir tersendat, kemudian berkata “Ini cobaan dari Tuhan”. See? Kan lucu tiba-tiba Tuhan di salahkan sebagai penyebab dari keputusan nya sendiri. Jika ingin di compare dengan keseimbangan antara hubungan dengan setia bersama wanitanya atau istrinya dalam kehidupan yang sibuk, coba lihat para kepala negara, kanselir, raja dan perdana menteri. Tidak kah kesetiaan dalam kehidupan yang sibuk menjadikanya sangat bernilai dan kharismatik?

Akan selalu ada wanita yang lebih cantik, lebih cerdas, lebih menarik dari  wanita yang Anda sudah miliki. Tapi pertanyaan selanjutnya adalah, mau sampai kapan memanjakan ego dan hasrat manusia yang memang  tidak pernah cukup dan merasa puas?

Tiba pada penjelasan terakhir mengenai memperlakukan wanita sebagai harta termahalnya. Coba bayangkan seorang pria yang sibuk telah bertarung, berperang, berjuang kemudian bersaing namun wanitanya tetap di jaga  hati-hati seperti barang termahal yang dimilikinya, takut baret, takut lecet, takut tidak di sinari dengan baik, takut lembab dan kotor. Jadi jika laki-laki ini menjaga wanitanya tetap cantik, apapun yang di lakukanya untuk wanitanya atau istrinya, meskipun di luar sana mendapat pujian akan dirinya, pria tersebut merasa yang menghebatkanya adalah wanitanya. Laki-laki seperti ini menjadikan wanitanya lebih penting dari dirinya, karena dia sadar bahwa wanitanya lah yang akan menghebatkan kehidupan nya. Coba bayangkan laki-laki yang setia dalam kehidupan yang sibuk kemudian mencapai keberhasilan dan kesuksesan dan berkata “Oh itu karena istriku, karena wanitaku yang selalu ada di sampingku dalam setiap kondisi apapun yang kalian tak melihatnya”. Nah biasanya wanita yang melihat seperti itu bukan dari wanita yang di nikahinya, tapi dari wanita lain yang berucap “Aduh, seandainya aku memiliki laki-laki seperti itu” 

Itulah mengapa banyak wanita muda yang mengaggumi pria beristri yang SETIA dengan istrinya. Semakin pria itu menyetiakan diri dalam hubungannya dan sukses dalam pekerjaannya, semakin bernilai kualitas diri nya di mata banyak wanita. Oleh karena itu, wanita yang telah memiliki laki-laki yang memuliakanya harus dirawat, dan laki-laki berkualitas dan mahal seperti itu akan merasa sakit hati sekali apabila di perlakukan tidak santun, tidak cinta, tidak lembut dan tidak setia, maka Tuhan akan mengambil untuk di hadiahkan kepada wanita yang lebih baik.

So, kesimpulanya selalu ada dua orang yang bersama-sama dalam menjalani sebuah hubungan yang besinergi.

It always takes two people to be tango dance, right?

Sudahkan Anda menyiapkan diri menjadi pria berkualitas dan mahal seperti itu?

Notes About Separation...

Friday, December 18, 2015


Perpisahan, sebagaimana kematian, adalah hal yang paling dihindari manusia. Padahal sama seperti pertemuan dan kelahiran, kedua sisi itu melengkapi bagai dua muka dalam satu koin. Hadir sepaket tanpa bisa dipisah. Seberapa lama jatah kita hidup, kita tidak pernah tahu. Yang jelas, kita selalu berjuang setengah mati untuk bisa menerima mati. 

Saya sempat termenung melihat salah satu adegan dalam film “Earth” di mana seekor kijang berlari sekuat tenaganya hingga pada satu titik dia begitu berpasrah saat digigit oleh harimau, menghadapi kematiannya dengan alami. Adegan yang tadinya begitu mencekam akhirnya bisa berubah indah saat kita mampu mengapresiasi kepasrahan sang kijang terhadap kekuatan yang lebih besar darinya. Persis bagaikan kijang yang berlari, manusia dengan segala macam cara juga menghindari kematian. Orang yang sudah tidak berfungsi pun masih ditopang oleh segala macam mesin agar bisa hidup. Perpisahan tak terkecuali. Kita pasti akan berjuang habis-habisan untuk bertahan terlebih dahulu. Namun, sebagaimana kijang yang akhirnya berlutut pasrah, sekeras-kerasnya kita menolak kematian dan perpisahan, setiap makhluk bisa merasakan jika ajal siap menjemput, jika ucapan selamat tinggal siap terlontar. Dan pada titik itu, segala perjuangan berhenti.

Dalam semua hubungan, kita bisa saja menemukan 1001 alasan yang kita anggap sebab sebuah perpisahan. Namun saya percaya, penyebab yang paling mendasar selalu sederhana dan alami: memang sudah waktunya. Hidup punya masa kadaluarsa, hubungan pun sama. Jika tidak, semua orang tidak akan pernah mati dan semua orang tidak pernah ganti pacar dari pacar pertamanya. Kita bisa bilang, putusnya hubungan A karena dia selingkuh, karena bosan, karena ketemu orang lain yang lebih menarik, belum jodoh, dan masih banyak lagi. Padahal intinya satu, jika memang sudah waktunya, perpisahan akan menjemput secara alamiah bagaikan ajal. Bungkus dan caranya bermacam-macam, tapi kekuatan yang menggerakkannya satu dan serupa. Tentu dalam prosesnya kita berontak, protes, menyalahkan ini-itu, dan seterusnya. Namun hanya dengan terus berproses dalam aliran kehidupan, kita baru menyadari hikmah di baliknya.

Jadi, semua faktor yang selama ini diabsahkan orang-orang sebagai penyebab perpisahan (orang ketiga, KDRT, tidak dinafkahi, dan lain-lain) menurut saya sebenarnya adalah gejala yang terlihat, bukan penyebab. Sama halnya batuk sebagai gejala penyakit flu. Batuk bukan penyebab, tapi gejala penyakit yang terlihat. Kita sendiri tidak bisa melihat virusnya, cuma merasakan akibatnya, yakni batuk atau beringus. Tapi seringkali kita tertukar memilah mana efek dan mana sebab, hanya karena efek yang terlihat lebih mudah dijelaskan. Alasan sesederhana “memang sudah waktunya” dirasa abstrak, teoritis, filosofis, dan mengada-ada.

Oktober 2012 adalah momen penyadaran saya dengan mantan pasangan saya, saat kami merasa bahwa hubungan kami sudah kadaluarsa. Susah sekali kalau disuruh menjelaskan: kok bisa tahu? Tapi kami sama-sama merasakan hal yang sama. Dan pada saat itulah kami memutuskan untuk belajar berpisah, saling melepaskan. Jadi, masalah intinya bukan memaafkan dan memaklumi efek apa yang terlihat, tapi menerima bahwa inilah adanya. Hubungan yang kadaluarsa. Perkembangan yang akhirnya membawa kami ke titik perpisahan. Dan, untuk sampai pada penerimaan ini, dua tahun saya jalani dengan berbagai macam cara: meditasi, penyembuhan diri, dan sebagainya, hingga kami bisa saling melepaskan dengan lapang dada, dengan baik-baik, dengan pengertian, dengan kesadaran hingga semua berakhir di Febuari 2013. Alasan perselingkuhan adalah alasan klasik. Pada saat tersebut saya tidak bisa menerima segala apapun, walalupun kesadaran untuk berpisah sudah memuncak, tapi ego saya berkata lain, bukan cara seperti ini yang saya inginkan pada saat itu. Kehidupan selama 8 tahun bersama, kemudian mengenal di akhiri dengan permisi yang terpaksa di akhiri. Saya pun memahami bahwa Tuhan memiliki caranya sendiri bagaimana kami harus berakhir. Dan kami hanya harus menerima nya saja. Perselingkuhan ataupun alasan lain hanya sebagai penyimpulan akhir bahwa kami harus berpisah, agar memudahkan kami untuk bergerak di jalur masing-masing. Meskipun pada dasarnya saya mengerti, masa kami sudah habis. Sudah waktunya berpamit.

Memaafkan bagi saya adalah menerima. Menerima kondisi kami apa adanya. Segala penyebab mengapa sebuah kondisi tercipta, barangkali kita cuma bisa tahu sekian persennya saja. Tidak mungkin diketahui semua. Apalagi dimengerti. Sama halnya saya tidak tahu persis kenapa dulu bisa bertemu dengan mantan saya, bersama, dan seterusnya. Fate, atau destiny, menjadi cara manusia menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan. Perpisahan pun sama hukumnya. Meski sepertinya keputusan berpisah ada “di tangan kita”, tapi ada sesuatu kekuatan yang tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.

Namun seringkali konsep “memaafkan” yang kita kehendaki adalah kemampuan untuk mengembalikan situasi ke saat sebelum ada masalah. Alias rujuk lagi seperti dulu. Dan keinginan kami untuk berpisah dianggap sebagai ketidakmampuan kami untuk saling memaafkan. Menurut saya, pemaafan yang sejati hanya bisa diukur oleh masing-masing pribadi, di dalam hatinya sendiri. Dan bagi kami, dalam masalah ini, “memaafkan” tidaklah identik dengan “pengembalian situasi ke kondisi semula”. Dalam proses pemaafan ini, kami pun bertumbuh. Dan di sinilah saya menyadari, dinamika kami sebagai pasangan lebih baik disudahi sampai di sini. Kami menemukan wadah yang lebih kondusif untuk menopang dinamika kami sebagai dua manusia, yakni sahabat tanpa wadah pernikahan yang kami inginkan dulu.

Lantas, orang-orang pun berargumen: semua pasangan menjadi sahabat! Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Bahkan ada pasangan yang menjadi musuh bagi satu sama lain meski mereka tetap bersama di status yang sama. Ketika sepasang pasangan menjadi sahabat, mereka tentu bisa merasakan wadah apa yang paling tepat untuk menopang dinamika mereka. Jika hubungan masih dirasakan sebagai wadah yang pas, maka mereka akan meneruskan persahabatan dalam cangkang tersebut. Evolusi saya dan mantan saya ada di kompartemen yang lain lagi. Cangkang kebersamaan tidak lagi kami rasakan sebagai wadah yang “pas”. Jika dijalankan pun, cuma jadi kompensasi sosial yang alasannya bukan lagi kebahagiaan kami, melainkan kebahagiaan keluarga, sahabat, dan seterusnya. Satu opsi yang menurut saya sangat tidak sehat, membunuh pelan-pelan, dan kepalsuan berkepanjangan.

Kita sebagai individu harus bisa merasa bahagia terlebih dahulu sebelum bisa membahagiakan orang lain. Analogi yang barangkali bisa membantu menggambarkan ini adalah petunjuk emergensi di pesawat. Dulu, saya sering bingung, kenapa orang tua disuruh memakai masker oksigen duluan sebelum anaknya. Sekarang saya mengerti, dan setidaknya ini adalah kebenaran bagi saya: kita tidak bisa membahagiakan orang lain sebelum kita sendiri bahagia. Satu buku yang sangat terkenal, “Celestine’s Prophecy”, juga bicara soal ini. Kita harus “penuh” dulu sebelum bisa “memenuhi” orang lain. Cinta bukanlah dependensi, melainkan keutuhan yang dibagi.


Kita berbuat sesuatu karena itulah yang kita anggap benar bagi diri kita sendiri. Dan kebenaran ini sangatlah relatif. Jika ada 6,5 miliar manusia di dunia, maka ada 6,5 miliar kebenaran dan ukuran kebahagiaan. Norma berubah, agama berubah, sains berubah, segalanya berubah dan tidak pernah sama. Kebahagiaan pun sesuatu yang hidup, berubah, dan tidak statis.

Misal jika kita menilik permasalahan perpisahan yang lebih serius, yaitu perceraian. Dimana perceraian terjadi di atas hadirnya seorang anak. Persepsi seseorang mengenai perceraian ayah bundanya sebagai egoisme orang tua yang tidak dapat mempertimbangkan kehidupan anaknya.  Mempertahankan pernikahan bukan karena anak, dan kalaupun bertahan menikah, seharusnya juga bukan karena anak. Karena kalau cuma karena anak, dengan demikian seseorang menaruh beban yang luar biasa besar dan bukan porsinya anak, bahkan pasangan berpisah tersebut menjadi seseorang yang tidak bertanggungjawab, dengan meletakkan fondasi pernikahan pada seorang anak. Ini barangkali bukan pandangan yang umum. Kita tahu betapa banyak orang di luar sana yang bicara bahwa anak harusnya menjadi pengikat, bahkan dasar. Bagi saya, bukan tali atau fondasi. Dia adalah anak panah yang akan melesat sendiri satu saat nanti. Kewajiban utama saya nantinya sebagai orangtua adalah menjadi manusia yang utuh agar saya bisa membagi keutuhan saya dengan anak saya nanti. Dan keutuhan jiwa saya tidak saya letakkan dalam pernikahan, tidak juga pada siapa-siapa, melainkan pada diri saya sendiri. Beruntungnya saya memahami ini karena kebersamaan saya dengan sahabat yang jauh lebih tua dan yang saya hormati untuk melewati masa-masa sulit hidupnya dan membagi pengalaman dan perasaannya pada saya. Saya mengerti, bahwa seseorang yang menikah itu adalah karena dua individu yang berbeda, yang ingin membangun suatu wadah kebersamaan yang membahagiakan, saling mengusahakan satu sama lain. Yang mana bisa jadi wadah pernikahan bisa jadi rumah untuk mereka atau neraka untuk anggota keluarganya. Ini bukanlah frasa peryataan bahwa saya pasti akan bercerai jika saya berkeluarga nanti, namun lebih memahami sedasar mungkin bahwa setiap individu yang hidup nantinya akan berpisah dengan cara dan akhir yang kita tidak tahu tapi harus siap dengan segala apapun.

Membahagiakan orang terkasih, keluarga, masyarakat, juga menjadi keinginan setiap orang termasuk saya. Tapi saya pun tidak bisa selamanya mencegah mereka semua dari ketidakbahagiaan. Karena apa? Seseorang berbahagia karena dirinya sendiri. Kebahagiaan bukan mekanisme eksternal, tapi internal. Ilustrasinya begini, dua orang sama-sama dikasih apel, yang satu bahagia karena memang suka apel, yang lain kecewa karena sukanya durian. Berarti bukan apelnya yang bisa bikin bahagia, tapi reaksi hati seseoranglah yang menentukan. Yang tidak suka apel baru bisa bahagia kalau akhirnya dia bisa menerima bahwa yang diberikan kepadanya adalah apel dan bukan durian—sebagaimana yang dia inginkan. Alias menerima kenyataan. Saya tidak bisa membuat siapa pun berbahagia, sekalipun saya ingin berpikir demikian. Kenyatannya, hanya dirinya sendirilah yang bisa. Saya hanya bisa menolong dan memberikan apa yang orang tersebut butuhkan, SEJAUH yang saya bisa. Namun saya tidak memegang kendali apa pun atas kebahagiaannya.

Seseorang lantas bertanya pada saya, ketika saya menyuarakan pandangan saya mengenai perpisahan seperti ini: Tuhan seperti apa yang saya anut? Karena kasih sayang Allah SWT seharusnya mengingatkan orang yang berpisah untuk terus bersatu (terutama dalam pernikahan), sebab tidak ada Tuhan yang menyukai perpisahan. Bagi saya, Allah SWT berada di luar ranah suka dan tak suka. Jika dunia ini berjalan hanya berdasarkan kesukaan Tuhan, dan Tuhan hanya suka yang baik-baik saja, mengapa kita dibiarkan hidup dengan peperangan, dengan air mata, dengan patah hati, dengan ketidakadilan, dengan kejahatan? Mengapa harus ada hitam bersanding dengan putih? Lantas, kalau ada orang yang kemudian berargumen bahwa bagian hitam bukan jatahnya Tuhan tapi Setan, maka jelas Tuhan yang demikian bukan Yang Maha Kuasa. Ia menjadi terbatas, kerdil, dan sempit. Bagi saya, Tuhan ada di atas hitam dan putih, sekaligus terjalin di dalam keduanya. Tidak ada yang bukan kuasa Allah SWT. Ia tak mengenal konsep “kecuali”. Allah SWT ingin kita belajar, sebagai hambaNya di dunia ini, Dia ingin mengajarkan bahwa apa yang ada di dunia ini, pemberiaNya adalah sebuah ujian. Hanya sebuah titipan yang mana selalu ada tanggal expired nya, dimana Yang Maha Pemberi berhak memintanya kapan saja dan dalam kondisi terima atau tidak terima. Bahwa makhluk yang hidup akan selalu di uji, kemudian mengaku bahwa Dia lah Yang Maha Kuasa, mengaku sebagai hamba, dan berserah terhadap apapun yang terjadi.

Selama beberapa hari terakhir pada saat itu, begitu banyak pesan dan komentar yang dilayangkan pada kami. Dari mulai bertanya, kecewa, prihatin, sedih, kaget, bahkan bak seorang Nabi bernubuat, ada yang meramalkan ini-itu sebagai konsekuensi keputusan kami. Tak sedikit juga yang memilih tidak berkomentar dan bertanya, hanya memberi dukungan. Saya berterima kasih untuk semua. Saya  pun tak meminta banyak, hanya satu hal: menghargai keputusan. Kami selamatkan di sini adalah keutuhan hati dan jiwa masing-masing. Karena buat saya, itu lebih penting daripada hubungan utuh tapi dalamnya rapuh. Itu mengapa setiap perpisahan yang terjadi setelah perpisahan tersebut saya tidak merasa kehilangan apapun, tidak lagi banyak mengalami trauma, tidak takut untuk melangkah, menyerap bnayak pelajaran dan ilmu dari setiap kejadian tersebut, banyak belajar lebih “legowo”, menerima, dan percaya ini sudah kehendak dan garisNya, bahwa tidak ada sesuatu yang luput dariNya. Bahkan ketika tulisan ini dibuat saya yakin, Dia melihatnya, dan mengizinkan saya menuliskan hal ini. Hidup terasa lebih ringan ketika semua hal di serahkan padaNya, dan membiarkan Allah SWT yang mengaturnya. Termasuk di dalamnya adalah jodoh, yang masih misteri bagi saya.

Lalu, hendak ke mana setelah ini? Saya tidak tahu. Apakah akan ada penyesalan di setiap perpisahan yang terjadi dan menghampiri saya? Sama sekali tidak.. Apa pun yang menanti saya sesudah ini, itulah konsekuensi, tanggung jawab, dan karma saya. Pahit atau manis. Tak seorang pun yang tahu. Namun inilah pelajaran hidup yang menjadi jatah saya, dan saya menerimanya dengan senang hati. Saya tidak berdagang dengan Tuhan. Setiap detik dalam hidup adalah hadiah. Setiap momen adalah perkembangan baru. Bagi saya, itu sudah cukup. Bagi saya, itulah bentuk kesadaran.

Jadi, kalau pertanyaan emas itu kembali dilontarkan: apa penyebab seseorang itu berpisah? Mereka sadar, menerima, dan memaafkan bahwa hidup telah membawa mereka ke titik perpisahan.

Abstrak? Filosofis? Teoritis? Utopis? Saya sangat mengerti mengapa label-label itu muncul. Kebenaran kadang memang sukar dipahami. Hanya bisa dirasakan. Sama gagapnya kita berusaha mendefinisikan Cinta. Pada akhirnya, kita cuma bisa merasakan akibatnya.

Salam,

~ Dee ~


© deeJourney • Theme by Maira G.