You, I, and Them, Who is the really fake?
Ini sebenarnya soal klise. Seseorang bisa dengan mudah mengatakan orang lain ‘fake’ hanya karena orang lain ini selalu memakai ‘make up’ pada wajahnya. Tapi benarkah itu ‘fake’? Kenapa ber-make up dianggap ‘fake’? Kenapa tidak bisa berpikir yang baik-baik saja seperti “mungkin ia memang modis dan senang berdandan” atau “mungkin memang profesinya mengharuskan ia harus selalu memakai ‘make up’ ” atau sama sekali tidak melontarkan TUDUHAN apa pun atas kesukaan seseorang berdandan. Mana yang paling nyaman?
Tuduhan
‘fake’ ini memang seringkali mudah menimbulkan antipati pada orang yang
dituduh. Ajakan untuk menyetujui ‘fake’ atau kepalsuan yang ada pada
seseorang bisa dihembuskan dengan mudah oleh orang lainnya yang MUNGKIN SAJA
dirinya sendiri pun sedang asyik bergelimang dengan kepalsuan. Jika pada saat
tak marah pada siapa pun, seseorang senang berkampanye soal ‘fake’,
entah kenapa, saya malah melihat orang tersebut justru yang sedang menutupi
kekurangan dan rasa iri pada dirinya dengan menuduh orang lain ‘fake’.
Contoh
sederhana, ketika ada gossip seorang artis yang selama ini dilihat sexy, hot,
dan mengundang mata banyak orang lain untuk melihat, mendapat tuduhan bahwa
payudaranya palsu. Apa reaksi kebanyakan orang? Kecewa? Memaki dengan kata
kasar? Mengatai artis tersebut telah menipu publik dengan penampilannya?
Tersenyum kecut dan tak berkomentar? Atau tertawa dan menganggap orang lain
iri?
See,
this is my point. Semua reaksi dan lontaran pendapat itu adalah buah pikiran
yang telah terpatri dan berakar dalam otak kita! Kalau seseorang terbiasa
berpikir ‘jorok’ dan ‘buruk’ pada orang lain, reaksi pertama yang muncul akan
selalu negatif! Tak mungkin kan air comberan berubah menjadi air zamzam dalam
sekejap? Makanya jangan menyimpan air comberan di otak! Kasihan kan otaknya?
Maksud
saya begini. ‘fake’ atau kepalsuan yang dilakukan seseorang, tentunya
ada batas toleransi. Semua orang bisa ‘fake’ bisa tidak. Tergantung
bagaimana caranya memandang setiap masalah. Akan lucu jadinya jika seseorang
suka sekali berkampanye ‘anti fake’ dengan cara mendiskreditkan orang lain YANG
DIANGGAPNYA ‘fake’.
Lagipula,
‘fake’ atau tidak, jika tak berurusan langsung dan mengganggu kita, apa
urusan kita sih?
Menuduh
orang lain ‘fake’ tidak serta merta menjadikan diri kita paling ‘real’.
Hal yang paling mendasar sebenarnya justru harus ditanyakan pada diri sendiri.
“Apa sih yang membuat saya suka mengata-ngatai orang lain ‘fake’? Am I
happy with my life?” — Ini penting supaya apa yang kita salurkan melalui ucapan
dan statement-statement kita, bisa dipertanggungjawabkan.
Ini
contoh sederhana lagi. Ada orang yang merasa dirinya laki-laki, lalu sibuk
mengkampanyekan anti ‘fake’ pada perempuan yang gemar berdandan. Well,
sebenarnya tak masalah sih selama dia tak berurusan dengan saya. Tetapi yang
menggelitik pikiran saya justru begini : laki-laki ini pun dalam kehidupan
sehari-hari tak banyak bergaul, senang menyendiri, memakai akun twitter tidak
dengan fotonya sendiri, tetapi sangat suka mengatai perempuan berdandan itu ‘fake’!
Hellooo??!! Yang sedang anda lakukan sendiri itu apa ya, bung?
Lalu
ada lagi contoh sederhana lain. Seseorang dengan bersemangatnya mengatakan, “gue
sih paling anti deh sama orang yang suka carmuk!” — Pada kesempatan lain,
orang yang katanya ‘anti carmuk’ ini, tiba-tiba terpergok sedang melakukan aksi
‘carmuk’nya yang bahkan lebih parah daripada orang yang suka dituduhnya
‘carmuk’ pada dirinya! Duar! Busted!
No,
saya tidak peduli jika anda mengatakan saya sedang ‘fake’ juga di blog
saya ini. Pasti anda akan bilang saya sedang ‘fake’ untuk menjadi ‘tidak
fake’ dengan menulis tentang ‘fake’ ini. See? Bingung sendiri
kan? Haha!
Anyway,
again, my point is, kenapa
kita tidak biarkan orang lain melakukan apa yang membahagiakan hati mereka.
Selama itu tidak ada hubungannya dengan kita, dan sama sekali tidak merugikan
kita, tak perlu kan kita mendiskreditkan seseorang dengan tuduhan ‘fake’?
Jika seseorang memang ‘fake’, kita juga akan bisa lihat kok, ada siapa
saja di sekitarnya, dan siapa teman-temannya.
Many
people like to judge others to be fake. Judging others for being ‘fake’ doesn’t
make us ‘real’. In my opinion, they have to first look at the mirror, see
themselves, ask their hearts: “Am I happy with my life?”
Just
my personal thought.
No comments
Post a Comment