Aku Cuma Selingkuh, kok...
Sunday, July 28, 2013
Bicara soal selingkuh memang selalu menjadi topik yang menarik. It’s a never ending topic! Tak hanya yang sudah menikah, yang masih dalam status pacaran pun merasakan sakit yang tak terkira ketika mengetahui pasangannya berselingkuh.
Biasanya pihak yang melakukan perselingkuhan akan selalu menjadi
sorotan dengan predikat buruk di mata orang lain. Tak peduli alasan apa yang
membuatnya berselingkuh, kesan negatif seperti otomatis langsung melekat pada
si pelaku selingkuh. Bahkan pada beberapa golongan, orang suka juga mencari
keuntungan di balik perbuatan negatif ini dengan dalih ‘daripada selingkuh,
mendingan poligami’ – well, untuk yang terakhir ini, ngobrol sama tembok saja
ya supaya suaranya hanya terdengar menggaung di telinga sendiri, soalnya ini
sama saja dengan ucapan seorang tukang becak di salah satu daerah di Bogor yang
terkena penertiban, tanpa mau melihat permasalahan dan menyadari kesalahannya
beroperasi di daerah bebas becak, dia malah asyik-asyik ngedumel – “Tanah
tanah Allah, kita mau usaha aja diusir-usir!” – *mau ketawa karena lucu,
tapi sebal juga dengar dia meng-klaim tanah milik Allah, kalau begitu boleh
juga dong isterinya ditiduri oleh orang lain, kan milik Allah?
Anyway, let’s get back to the topic,
selingkuh. Kali ini kita bicara soal rasa saja deh, soalnya lingkup selingkuh
lumayan luas, nanti ada yg tanya ‘ini termasuk selingkuh nggak ya?’ Saya anggap
saja semua yang membaca sudah tahu mana yang termasuk selingkuh, mana yang
bukan.
Kalau kita mencoba melihat sinonim dari kata selingkuh itu
sendiri, berbagai macam kata negatif lainnya seperti serong, menipu, tidak
jujur, dan lain-lain seolah-olah menjadi satu kumpulan perbuatan negatif yang
melekat pada perbuatan selingkuh itu sendiri. Jika demikian buruknya, apakah
selingkuh masih dapat ditolerir?
Jika seseorang masih bertahan menjalani hubungan dengan orang yang
sudah berkali-kali berselingkuh terhadap dirinya, bayangkan berapa banyak
‘sampah’ yang sudah rela ditelannya?
Yang sering terjadi adalah, ketika pasangan tertangkap basah
berselingkuh, kemudian meminta maaf, dan berjanji bahwa dia adalah milik kita
seutuhnya, kebanyakan dari kita rela memberi kesempatan kedua, ketiga, bahkan
dan seterusnya. Sadarkah kita bahwa jika itu kita lakukan berarti kita sendiri
yang akhirnya sibuk mencari alasan pembenaran untuk perselingkuhan yang sudah
dilakukan pasangan kita? Setelah itu hidup hanya akan dipenuhi oleh kecurigaan,
rasa sakit hati, dan kebencian, meski akhirnya kembali menerima si peselingkuh
itu. Apakah itu yang disebut ‘Cinta’? – Me? Not anymore!
Jika anda masih menyebut itu sebagai ‘cinta’, maka saya tak bisa
lagi membayangkan yang dinamakan ‘benci’ itu seperti apa. Saya juga mungkin tak
akan habis pikir, bagaimana cara anda menghargai dan mencintai diri anda
sendiri.
Di dunia ini mungkin saja banyak orang yang membenci kita,
menyimpan rasa iri, ataupun ingin menyakiti. Kita sering mendengar bahwa
memaafkan kesalahan orang lain akan lebih baik daripada menyimpan dendam. Saya
setuju sekali. Bisa saja kita memaafkan, tapi itu bukan berarti membuka pintu
untuk ‘the new him/her’ seperti yang mudah dijanjikan ketika seseorang
ketahuan berselingkuh dan berjanji tak akan mengulangi. Mungkin kita harus
menanyakan kembali kepada hati kita masing-masing, untuk sebuah dedikasi
terhadap rasa cinta yang tulus dan kepercayaan yang demikian besar kita
berikan, kita rela dikhianati? Membuka mata lebar-lebar akan kenyataan tentang
siapa sebenarnya orang yang kita cintai dan bertanya pada diri sendiri mungkin
juga sedikit membantu, pantaskah saya menerima semua pengkhianatan ini?
Beberapa waktu lalu, setelah kegagalan hubungan saya yang juga
salah satu penyebabnya adalah perselingkuhan yang dilakukan pasangan saya, saya
berkenalan dengan seseorang yang ketika itu dalam masa penjajakan untuk
mendekati saya. Hubungan antara dua orang yang pernah memiliki latar belakang
kegagalan hubungan tentunya berbeda dengan pasangan yang belum pernah
mengalaminya. Ketika dalam masa-masa pendekatan, dia memberitahu saya bahwa
akibat dari kegagalan hubungan nya adalah karena dia selingkuh.
“Kesalahanku cuma satu. Aku cuma selingkuh kok, nggak lebih dari
itu!,” katanya sungguh-sungguh.
Hampir saja tawa saya meledak ketika itu. Cara bicaranya yang
menganggap remeh perselingkuhan seperti mengatakan “Saya cuma makan tahu
satu, kok disuruh bayar dua sih?”
Tapi saat itu saya hanya tersenyum geli. Selain ingin menjaga
sopan santun, hilang sudah semua keinginan saya untuk mendengar semua ceritanya
lebih jauh. How could I walk again with a cheating heart?
Yang saya ingin coba sampaikan melalui cerita saya di atas adalah,
bahwa pada kondisi seseorang mengalami kegagalan pada status hubungan nya
karena alasan selingkuhpun masih bisa merasa tidak bersalah atau menganggap
selingkuh itu bukan masalah besar! Padahal kalau kita kembali lagi melihat
hal-hal negatif apa yang termasuk dalam kata selingkuh saja, setidaknya 5 keburukan
sudah tergambar dalam satu kata selingkuh itu sendiri.
Sekarang mari kita coba sama-sama tanyakan pada hati kita. Ketika
kita ingin menerima kembali seseorang yang sudah mengkhianati cinta kita,
beberapa pertanyaan ini mungkin bisa membantu untuk mempertimbangkan.
- Kenapa kita harus menerimanya kembali?
- Adakah ini benar-benar karena cinta? Tapi cinta itu hanya milik kita sendiri, bukan milik dia lagi.
- Apakah kita siap untuk disakiti lagi jika itu terulang?
- Apakah kita bisa menghapus semua rasa kecewa akibat perbuatannya?
Hello?? Time to wake up!
Kita, saya dan anda, mungkin punya niat baik ingin memperbaiki
sesuatu yang sudah terlanjur salah. Tapi pada situasi ini, ada kesalahan yang
sangat fatal, yaitu : mencintai dengan hati yang terluka!
Pasangan selingkuhnya mungkin saja lebih baik dari anda tapi mungkin saja tidak. Tapi ini semua bukan tentang anda! Apapun alasannya, ini tentang dia yang sudah melukai hati anda dengan perselingkuhannya. Pada kebanyakan orang ragu untuk mengambil keputusan berpisah dan masih berharap bahwa cinta pasangan masih tetap seperti ketika hubungan masih berjalan dengan tulus. Tetapi sebuah hubungan tentu saja membutuhkan komitmen. Jika seseorang mencintai anda, ia akan berkomitmen penuh hanya pada anda seorang. Haruskah kesempatan kedua diberikan? Saya pribadi akan mengatakan : ‘No one should be given a second chance, when the first one was a very long generous opportunity for love and happiness has been paid back by hate, hurt, misery and suffering.”
Ini bukan provokasi, apalagi membuat khawatir siapapun yang sedang
gelisah dalam kebimbangannya karena pasangannya berselingkuh. Tetapi saya
berharap setidaknya bisa memberikan sedikit masukan agar kita dapat mengambil
keputusan dengan lebih hati-hati. Hidup dalam ikatan yang penuh rasa was-was
dan curiga tak akan pernah membawa kebahagiaan. Cintai diri kita sendiri dulu,
dan sempatkan bertanya dan menjawab dengan jujur pertanyaan ‘Saya hidup untuk
apa?’
I wish every of you would know how to give less, forgive less, and
love less to get more respect from your loved one!