SLIDER

Sorry, Your Privileged Access to My Life is Expired!

Saturday, June 29, 2013


Hidup memang banyak cerita. Salah satunya adalah cerita kebersamaan dengan beberapa orang yang pernah singgah dalam hidup kita. Pengalaman yang ditinggalkannya pun beragam, ada yang manis, ada yang pahit. Yang manis, tentu saja menimbulkan gejolak rindu tersendiri ketika mengingatnya. Yang pahit? Yuck! Bisa-bisa membuat iritasi hati atau mengorek lagi borok yang sudah kering. Borok? Jorok sekali ya istilahnya? Well, tak apa, mari kita sebut pengalaman pahit itu sebagai ‘borok’ sehingga untuk mengingatnya pun kita akan merasa jijik.

Ada yang bilang, pengalaman pahit tak selalu buruk. Ia memberi pelajaran penting dalam hidup kita. Betul. Pelajaran pentingnya saja yang kita ambil, ceritanya tidak usah. Buat apa mengingat-ingat sesuatu yang hanya akan membuat sakit hati kembali hadir?
Percayakah anda jika dalam hidup ini memang kita sudah ditakdirkan untuk bersama atau tidak bersama seseorang atau beberapa orang? Jika anda percaya, kira-kira apa yang harus anda lakukan?
Saya sendiri percaya itu. Pergaulan atau pertemanan bagi saya akan melalui seleksi alam. Yang benar-benar tulus akan bertahan, yang tidak akan terbuang.  Saya teringat sebuah quotes dari Dawson’s Creek yang berbunyi: “There are certain people who aren’t meant to fit in your life no matter how much you want them to.” Ini memudahkan saya untuk melanjutkan hidup dan melepaskan orang-orang yang memang tidak seharusnya berada dalam hidup saya.

Dalam pergaulan sehari-hari, saat kita kebetulan berhadapan dengan orang yang bermasalah dengan kita, kemarahan mewarnai hari-hari kita. Pikiran negatif tentang seseorang demikian menguras energi dan waktu kita. Ketika coba diurai masalahnya, ternyata bukan hal yang besar. Tapi gimana dong? Udah terlanjur emosi nih! Nah, kalau gitu coba deh kita sama-sama pikirkan bagaimana membuat hati bisa sedikit lega atau bahkan melepaskan semua beban itu sama sekali!


Dorothy Thompson, seorang jurnalis Amerika menulis: “Peace is not the absence of conflict but the presence of creative alternatives for responding to conflict — alternatives to passive or aggressive responses, alternatives to violence.”
Let’s see what we got here.

1. Analisa Masalah dan Uraikan dengan Obyektif
Ketika kita mencoba menganalisa suatu masalah secara obyektif, maka kita akan melihat bahwa di satu sisi kita benar, di sisi lain pihak yang bermasalah dengan kita mungkin juga ada benarnya. Meski sama-sama mengandung kebenaran, ada hal-hal yang tidak selalu harus dijabarkan dengan baik dan belum tentu ada momentum yang tepat untuk bisa menyamakan persepsi atau setidaknya butuh waktu yang tidak sebentar dan jika dibandingkan dengan masalahnya, sangat tidak sepadan.
2. Pertimbangkan Untung dan Ruginya
Jika kita mempermasalahkan sesuatu yang sebenarnya menurut kita sangat prinsip, tetapi menurut orang lain tidak, maka kita sama saja bicara dalam deru angin. Tak terdengar. Sia-sia. Saat itulah kita berpikir apakah terus bergaul dengan orang seperti itu lebih banyak mendatangkan keuntungan atau justru merugikan diri sendiri. 
3. Ambil Keputusan
Setelah mencoba menganalisa dan mengurai masalah, lalu menghitung untung dan ruginya,  harus ada keputusan yang diambil. Mencoba memperbaiki hubungan memang harus dilakukan. Tetapi ini harus datang dari dua pihak. Jika keputusan yang diambil adalah meneruskan hubungan, maka segala cara harus diupayakan.  Tetapi jika keputusan yang diambil adalah sebaliknya, maka putuskanlah itu dengan pasti.
4. Berkompromi dengan Hati dan Pikiran
Hati seringkali mudah tergoda oleh bujuk rayu, tetapi otak harus tetap bekerja dengan baik.
Jika keputusannya adalah tetap mencoba menjalin hubungan, maka hati dan pikiran harus berkompromi pada proses yang akan dilalui. Beberapa orang akan punya begitu banyak waktu untuk ‘berperang’ karena tak punya banyak aktifitas, tetapi bagi orang yang kehidupan professional dan sosialnya aktif, berperang untuk hal yang tak sepadan hanyalah buang-buang wakt


Jika sudah pada tahap tak ingin meneruskan hubungan, kompromikan pula itu dengan hati dan pikiran akan selalu menjaga itu. Memutuskan hubungan bukan berarti bermusuhan, seperti juga memaafkan bukan berarti melupakan. Ketika seseorang berkali-kali membuat kecewa, saatnya untuk berpikir memutus semua hubungan dan menganggapnya sama dengan orang-orang lainnya yang tak punya ‘privileged access’ baik dalam pikiran maupun dalam tindakan kita. Putuskan, buang semua pikiran yang mengganggu, dan ‘move on’.
“You can’t shake hands with a clenched fist.” – Indira Gandhi

Sekali lagi, apakah anda percaya takdir? Saya percaya. Takdir mempertemukan saya dengan orang-orang yang baik untuk menemani saya menjalani hari-hari dalam hidup saya lebih berkualitas. Takdir juga mempertemukan saya dengan orang-orang yang tidak baik, untuk mengasah mental, kemampuan, dan membawa saya ke arah perbaikan diri.


“Someone who is anybody and who does anything is certainly going to be criticised, vilified and misunderstood. The final proof of greatness lies in being able to endure contumely without resentment.” – Elbert Hubbard






Well, I have my way on my own. I choose to remember every good people in my life and throw away some bad people out of it! Cherio!





-Deeshanty-

You, I, and Them, Who is the really fake?

Sunday, June 9, 2013

Ini sebenarnya soal klise. Seseorang bisa dengan mudah mengatakan orang lain ‘fake’ hanya karena orang lain ini selalu memakai ‘make up’ pada wajahnya. Tapi benarkah itu ‘fake’? Kenapa ber-make up dianggap ‘fake’? Kenapa tidak bisa berpikir yang baik-baik saja seperti “mungkin ia memang modis dan senang berdandan” atau “mungkin memang profesinya mengharuskan ia harus selalu memakai ‘make up’ ” atau sama sekali tidak melontarkan TUDUHAN apa pun atas kesukaan seseorang berdandan. Mana yang paling nyaman?





Tuduhan ‘fake’ ini memang seringkali mudah menimbulkan antipati pada orang yang dituduh. Ajakan untuk menyetujui ‘fake’ atau kepalsuan yang ada pada seseorang bisa dihembuskan dengan mudah oleh orang lainnya yang MUNGKIN SAJA dirinya sendiri pun sedang asyik bergelimang dengan kepalsuan. Jika pada saat tak marah pada siapa pun, seseorang senang berkampanye soal ‘fake’, entah kenapa, saya malah melihat orang tersebut justru yang sedang menutupi kekurangan dan rasa iri pada dirinya dengan menuduh orang lain ‘fake’.

Contoh sederhana, ketika ada gossip seorang artis yang selama ini dilihat sexy, hot, dan mengundang mata banyak orang lain untuk melihat, mendapat tuduhan bahwa payudaranya palsu. Apa reaksi kebanyakan orang? Kecewa? Memaki dengan kata kasar? Mengatai artis tersebut telah menipu publik dengan penampilannya? Tersenyum kecut dan tak berkomentar? Atau tertawa dan menganggap orang lain iri?

 

See, this is my point. Semua reaksi dan lontaran pendapat itu adalah buah pikiran yang telah terpatri dan berakar dalam otak kita! Kalau seseorang terbiasa berpikir ‘jorok’ dan ‘buruk’ pada orang lain, reaksi pertama yang muncul akan selalu negatif! Tak mungkin kan air comberan berubah menjadi air zamzam dalam sekejap? Makanya jangan menyimpan air comberan di otak! Kasihan kan otaknya?
Maksud saya begini. ‘fake’ atau kepalsuan yang dilakukan seseorang, tentunya ada batas toleransi. Semua orang bisa ‘fake’ bisa tidak. Tergantung bagaimana caranya memandang setiap masalah. Akan lucu jadinya jika seseorang suka sekali berkampanye ‘anti fake’ dengan cara mendiskreditkan orang lain YANG DIANGGAPNYA ‘fake’.


Lagipula, ‘fake’ atau tidak, jika tak berurusan langsung dan mengganggu kita, apa urusan kita sih?
Menuduh orang lain ‘fake’ tidak serta merta menjadikan diri kita paling ‘real’. Hal yang paling mendasar sebenarnya justru harus ditanyakan pada diri sendiri. “Apa sih yang membuat saya suka mengata-ngatai orang lain ‘fake’? Am I happy with my life?” — Ini penting supaya apa yang kita salurkan melalui ucapan dan statement-statement kita, bisa dipertanggungjawabkan.

Ini contoh sederhana lagi. Ada orang yang merasa dirinya laki-laki, lalu sibuk mengkampanyekan anti ‘fake’ pada perempuan yang gemar berdandan. Well, sebenarnya tak masalah sih selama dia tak berurusan dengan saya. Tetapi yang menggelitik pikiran saya justru begini : laki-laki ini pun dalam kehidupan sehari-hari tak banyak bergaul, senang menyendiri, memakai akun twitter tidak dengan fotonya sendiri, tetapi sangat suka mengatai perempuan berdandan itu ‘fake’! Hellooo??!! Yang sedang anda lakukan sendiri itu apa ya, bung?

Lalu ada lagi contoh sederhana lain. Seseorang dengan bersemangatnya mengatakan, “gue sih paling anti deh sama orang yang suka carmuk!” — Pada kesempatan lain, orang yang katanya ‘anti carmuk’ ini, tiba-tiba terpergok sedang melakukan aksi ‘carmuk’nya yang bahkan lebih parah daripada orang yang suka dituduhnya ‘carmuk’ pada dirinya! Duar! Busted!


No, saya tidak peduli jika anda mengatakan saya sedang ‘fake’ juga di blog saya ini. Pasti anda akan bilang saya sedang ‘fake’ untuk menjadi ‘tidak fake’ dengan menulis tentang ‘fake’ ini. See? Bingung sendiri kan? Haha!
Anyway, again, my point is, kenapa kita tidak biarkan orang lain melakukan apa yang membahagiakan hati mereka. Selama itu tidak ada hubungannya dengan kita, dan sama sekali tidak merugikan kita, tak perlu kan kita mendiskreditkan seseorang dengan tuduhan ‘fake’? Jika seseorang memang ‘fake’, kita juga akan bisa lihat kok, ada siapa saja di sekitarnya, dan siapa teman-temannya.
Many people like to judge others to be fake. Judging others for being ‘fake’ doesn’t make us ‘real’. In my opinion, they have to first look at the mirror, see themselves, ask their hearts: “Am I happy with my life?”




Just my personal thought.
© deeJourney • Theme by Maira G.