SLIDER

Selalu ada Nikmat Syukur dalam Setiap fase Kehidupan

Tuesday, May 21, 2013

Sejujurnya, dalam hidup kita menemui banyak masa-masa sulit entah sekarang atau di masa lalu. Saya sendiri merasa masih harus banyak belajar untuk mensyukuri apa yang saya dapat dalam hidup saya. Tak ingin bermuluk dengan berusaha menipu diri bahwa kesulitan hidup adalah hal yang patut disyukuri, tapi di situlah sebenarnya letak proses pembelajaran terhadap pendewasaan dan penguatan diri yang tak kan pernah didapat dari tempat pendidikan mana pun. Tak perlu pula bagi saya bermuluk rasa dengan mengelabui hati bahwa kesuksesan dan kesenangan adalah sebuah ujian yang sangat berat, tapi di sanalah letak kelengahan jika hati tak mampu bersyukur.

Setiap hari, hampir tiap menit saya mendengar, melihat, membaca, dan menonton  banyak kesusahan yang dihadapi oleh orang-orang di luar diri saya. Mulai dari kesusahan sepele, sampai persoalan-persoalan berat yang belum tentu sanggup saya jalani jika saya sendiri berhadapan dengan hal-hal tersebut. Mungkin saja saya saat ini termasuk orang yang beruntung karena masih dapat menikmati hidup saya seperti yang saya mau. Yah, saya katakan beruntung, karena tentunya mereka yang sedang kesulitan itu pun tak pernah tahu, kenapa tiba-tiba kualitas hidup mereka bisa berputar 180 derajat.

Dari yang tadinya kaya raya, bisa berakhir di penjara. Dari yang tadinya terkenal dan disanjung, bisa berakhir dengan keterpurukan dan caci maki. Dari yang tadinya bahagia dengan seluruh keluarganya, bisa berakhir dengan kesendirian. Semua itu tentunya adalah bagian dari hidup yang tak bisa begitu saja kita simplifikasi dengan kalimat : “I have a boring life”.

Ada banyak hal yang bisa kita lakukan selain hanya berkeluh kesah mengenai betapa sulit dan membosankannya hidup ini. Jika kita sempat membayangkan bahwa hal sederhana seperti ‘bisa melakukan banyak hal dengan leluasa’ saja sudah sesuatu yang patut disyukuri, maka kita tak akan lagi merasa menjadi orang yang paling malang di dunia. Bayangkan juga jika tiba-tiba saja anda terkena masalah yang membuat kebebasan anda terenggut dengan paksa tiba-tiba dan anda hanya harus menjadi pesakitan di balik jeruji besi. Atau jika tiba-tiba saja anda sakit dan tak bisa lagi bahkan turun dari tempat tidur tanpa bantuan orang lain. Saat itulah kita akan terpikir :

“There are a lot of things I wish I would have done, instead of just sitting around and complaining about having a boring life.”

Soal bersyukur ini juga sama seperti hal-hal umum lain yang begitu mudah diucapkan tetapi sulit sekali untuk menerapkannya jika kita tak terbiasa bersyukur atas hal-hal kecil yang kita dapati. Meskipun demikian, bukan berarti tak ada kesempatan untuk memulainya. Dalam banyak contoh yang agak klasik, soal bisa makan nasi sehari sekali saja sudah bisa disyukuri. (Ya iyalah….soalnya memang sedang diet! Haha!)
 Kemudian dipersempit lagi dengan masih bisa punya uang sedikit untuk beli singkong untuk makan saja sudah bagus. Tetapi ada contoh lain lagi yang mungkin bisa jadi gambaran bagaimana seseorang dengan kondisinya yang sekarang masih bisa makan apa saja (nasi atau singkong) harus banyak-banyak bersyukur. Pernahkah kita terpikir jika kita sudah harus makan melalui selang hanya untuk bertahan hidup?
Terlalu banyak alasan untuk bersyukur sebenarnya. Tetapi tentu saja rasa syukur ini bukan berarti kita hanya pasrah menerima tanpa berbuat sesuatu untuk mendapatkan yang lebih baik.
Ada yang bilang : “Ah, gue udah selalu bersyukur, nggak pernah mengeluh meskipun sampai sekarang, sudah banting tulang seperti apa pun tetap aja nggak kaya-kaya!”
Um…excuse me… Katanya nggak ngeluh, kok buntutnya seperti protes ya? Sudah banting tulang tetap saja tidak jadi kaya.

Sebenarnya kalau kita mau renungkan, dari kesulitan-kesulitan dan kekurangan yang kita hadapi, banyak sekali hal-hal yang bisa kita syukuri benar-benar, bukan sekedar penghiburan diri. Boleh juga sebagai penghiburan, tetapi akan lebih baik kalau kita tidak menjadikannya sebagai ‘penghibur hati’ tetapi juga menjadi penyemangat untuk hal-hal yang lebih dahsyat.
Berikut ini hanyalah sebagian alasan kenapa kita sudah seharusnya bersyukur :
Kalau kita belum mendapatkan segala yang kita inginkan, tentunya kita akan menjadi lebih bersemangat untuk mendapatkan yang kita inginkan itu, meskipun untuk mendapatkan segalanya adalah hal yang tak mungkin.
Kalau kita belum mengetahui segala hal yang ingin kita tahu, tentunya menjadi pemicu untuk kita menggali lebih banyak informasi yang akan memperkaya pengetahuan kita.
Kalau kita sempat melakukan kesalahan, tentunya kita menjadi tahu bahwa yang kita lakukan itu salah. Dari situ kita akan berusaha memperbaiki kesalahan-kesalahan itu.
Kalau kita selalu mendapat hambatan dalam pekerjaan kita, maka dari situ kita akan terpacu untuk lebih kreatif dan memikirkan cara terbaik untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Tentu saja itu menjadi suatu bagian tersendiri untuk meningkatkan kekuatan mental dan pikiran kita.
Kalau kita sekarang sedang berada dalam kondisi tidak bebas, alias merasa terpenjara, tentunya kita bisa bersyukur bahwa dalam kondisi itu kita punya banyak waktu untuk menata ulang hidup kita dan memikirkan langkah-langkah strategis yang akan dilakukan saat kebebasan itu sudah kembali dalam genggaman.
Kalau kita sedang sakit, kita punya waktu untuk memberi istirahat pada tubuh kita yang sudah dipakai selama bertahun-tahun tanpa istirahat. Mungkin dengan mengistirahatkan tubuh, maka kita akan bisa menghasilkan lebih banyak karya gemilang.
Kalau sekarang kita berada dalam kesendirian dan agak frustrasi karena belum juga mendapat jodoh, tentunya kita jadi punya waktu untuk melakukan banyak hal bersama teman-teman.
Kalau kebetulan kita telah menjadi kaya, tentu saja kita harus bersyukur, bukan pura-pura miskin karena pelit! Nanti jadi miskin betulan, lho! 




Find a way to be thankful, my friends! For our troubles for they can become our blessings. There’s always a reason to be thankful!












STOP LYING CULTURE!!

Wednesday, May 8, 2013




If a culture is based on emotional dishonesty, with role models that are dishonest emotionally, then that culture is also emotionally dysfunctional, because the people of that society are set up to be emotionally dishonest and dysfunctional in getting their emotional needs met.” Codependence

 




Kalau kita mengamati banyaknya kebohongan-kebohongan dan ketidakjujuran yang dilakukan oleh para pejabat di negeri ini, mungkin kita harus menyadari juga latar belakang kenapa seolah-olah berbohong itu sudah menjadi sesuatu yang mengalir di urat nadi mereka, menyatu dengan darah, hingga sudah menjadi kebutuhan untuk tetap hidup. Disadari atau tidak, berbohong sebenarnya sudah menjadi budaya yang ditanamkan kepada setiap manusia di dunia ini sejak mereka lahir. Entah siapa yang memulai, ada semacam dogma yang mengawali segala kebohongan itu sejak seorang bayi terlahir ke dunia.



Jika bayi itu laki-laki, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang maskulin. Kemudian bayi laki-laki itu didoktrin hal-hal yang sebenarnya kalau mau jujur seringkali ada yang bertentangan dengan kata hati mereka sendiri. Misalnya kalau laki-laki tidak boleh cengeng, harus jantan, harus berbadan tegap, harus ini, harus itu, dan segala harus yang berbau maskulin. Tidak boleh lemah, dan lain sebagainya.



Jika bayi itu perempuan, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal feminin ditanamkan dalam dirinya. Harus lemah lembut, tidak boleh agresif, tidak boleh ini, tidak boleh itu, harus ini, dan harus itu, yang seringkali juga bertentangan dengan kata hati mereka. Semua orang harus menerima itu sebagai budaya. Meskipun tak suka, semua itu harus ditelan. Tidak boleh tidak suka. Tidak boleh menyampaikan keberatan akan persyaratan-persyaratan yang sudah diberlakukan untuk menjadi seorang laki-laki atau perempuan. Jika melanggar batas itu, maka ia akan menjadi banci. Padahal belum tentu semuanya suka. Tapi tak boleh menyatakan terus terang. Disuruh berbohong sejak lahir! Disuruh menerima semua kebohongan akan perasaannya sendiri meski tak suka dengan aturan-aturan atau doktrin yang dibuat masyarakat tentang bagaimana seorang laki-laki atau perempuan harus menjadi dirinya. Itulah awal dari semua kebohongan yang terjadi di dunia ini.

“When the role model of what a man is does not allow a man to cry or express fear; when the role model for what a woman is does not allow a woman to be angry or aggressive – that is emotional dishonesty. When the standards of a society deny the full range of the emotional spectrum and label certain emotions as negative – that is not only emotionally dishonest, it creates emotional disease.”

Emotional disease, dalam bahasa Indonesianya, penyakit emosional. Namanya saja penyakit, jadi sudah pasti itu tidak baik. Tetapi yang tidak baik itu justru dipelihara dengan alasan supaya ada keseimbangan antar hubungan manusia di bumi ini. Kenyataannya masa terus berganti, beberapa hal sudah tidak sejalan lagi dengan doktrin yang dibuat mengenai bagaimana seharusnya membedakan manusia laki-laki dan perempuan dari segi perilaku. Akar dari sifat pembohong dan pura-pura ini sudah terlanjur tertanam kuat, maka penyakit emosional ini dibiarkan saja tanpa pernah berusaha disembuhkan.



Lalu, apa hubungannya dengan mental para pejabat di negara ini yang suka sekali berbohong? Mari kita coba kutip beberapa berita yang pernah dilansir beberapa media.



*****


Detik.com Jakarta – Akhirnya anggota Badan Kehormatan (BK) DPR mengaku mampir ke Turki. Pengakuan meluncur dari Wakil Ketua BK Nudirman Munir. Namun, mengapa alasan anggota BK DPR tidak konsisten, alias mencla-mencle?


Liputan6.com Jakarta: Terdakwa kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan akhirnya mengaku mendapat perlakuan istimewa dari Rumah Tahanan Mako Brimob, Depok, Jawa Barat untuk berplesiran ke Bali.


KOMPAS.com Jakarta – Terdakwa kasus suap PT Salma Arowana Lestari, Sjahril Johan, meminta kepada para pejabat yang menerima uang suap untuk mengaku dan bersikap jantan saat membacakan nota pembelaan (pleidoi) di depan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.


Primaironline.com Jakarta – Faktor ekonomi menjadi alasan Kepala Rumah Tahanan (Karutan) Markas Komando (Mako) Brimob Komisaris Iwan Siswanto menerima suap dari terdakwa kasus korupsi Gayus Halomoan Tambunan. “Faktor ekonomi, istri dari klien sakit-sakitan 10 tahun, sangat butuh biaya, dia mengakui khilaf dan mengakui perbuatannya bertentangan dengan hukum,” ujar pengacara Iwan, Berlin Pandiangan, di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (06/05).


*****



Kalau kita mengamati berita-berita di atas, maka kita akan melihat bahwa pada dasarnya, mereka melakukan itu seperti berjudi. Saat sedang beruntung, aman, maka kebohongan mereka tak akan terungkap. Tetapi jika salah satu rangkaian dari rantai kebohongan itu putus, maka berserakanlah rantai yang lain dan saat merasa terancam akan membongkar kebohongan-kebohongan selanjutnya. Apakah kebohongan-kebohongan yang mereka hasilkan adalah hasil dari kebohongan yang tiba-tiba saja dilakukan?

Tentu saja tidak.



Saat manusia didoktrin untuk tidak terlalu jujur sejak bayi, maka saat itulah penyakit emosional yang bernama bohong telah mulai secara perlahan merasuk dalam aliran darah dan menjadi makanan sehari-hari mereka. Pada orang-orang yang mendidik anak-anaknya dalam kesederhanaan dan tak suka menekan anaknya untuk melakukan kebohongan atas dasar pemuasan hati orangtua, maka sang anak akan lebih leluasa bersikap jujur dan apa adanya.



Kejujuran, sikap terbuka, dan tak suka berpura-pura akan membuat si anak juga memilih teman-teman yang sejalan dengannya. Lalu, saat memilih pasangan hidup, akan juga memilih pasangan yang dapat menerima keadaan dirinya tanpa perlu berbohong lebih banyak lagi. Hidup dijalani tanpa harus memperparah penyakit emosional hasil bentukan budaya masa lalu.

Betapa memuakkan melihat proses pengadilan pejabat yang selalu saja mempertahankan kebohongannya. Saat banyak masyarakat yang berjuang sampai titik darah penghabisan untuk menghidupi keluarganya, para pembohong kakap ini berjuang sampai titik duit penghabisan untuk menutupi kebohongan mereka. Bahkan duit yang mereka dapat dari hasil memakan uang yang bukan hak mereka!

Politik memang katanya tak ada yang jujur, tapi bukan berarti kita harus mengikuti arus untuk membiarkan penyakit emosional seperti berbohong itu berkelanjutan karena tuntutan kita akan pribadi anak-anak kita yang patuh pada kebohongan hingga tak sempat menjadi diri mereka sendiri. Jika kita memberikan kesempatan kepada anak-anak kita untuk menjadi manusia seutuhnya, membiarkan mereka melakukan pilihan-pilihan tanpa doktrin apa pun, tanpa tekanan untuk berbohong dan membohongi diri mereka, mungkin mental bangsa ini sedikit demi sedikit, meski lama, akan dapat diperbaiki. 

  Stop membudayakan kebohongan!



Indonesia Masih Butuh ‘Ki Hadjar Dewantara’

Saturday, May 4, 2013


Tanggal 2 Mei, 124 tahun yang lalu, seorang bayi laki-laki keturunan bangsawan lahir ke dunia. Di kemudian hari, ia dikenal sebagai aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.


Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, atau yang dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara setelah menanggalkan gelar kebangsawanannya demi mendekatkan diri pada rakyat jelata, adalah bayi laki-laki itu. Betapa perjuangannya di masa lalu, sangatlah patut dijadikan contoh bagi para pemimpin kita di masa kini. Masihkah kita bisa melihat seorang pemimpin seperti itu di masa sekarang?





"Kadangkala pikiran saya menerawang dan mempertanyakan, kenapa pahlawan itu selalu berasal dari masa lalu? Apakah seseorang harus mati dulu baru bisa disebut pahlawan? Ah, rasanya tidak. Soalnya para TKI/TKW selalu disebut sebagai ‘Pahlawan Devisa’ padahal mereka masih hidup!"


Jika di masa lalu para pahlawan yang berjuang untuk memajukan pendidikan harus mempertaruhkan segalanya termasuk jiwa dan raganya agar kesempatan mendapatkan pendidikan bagi masyarakat Indonesia ini lebih terbuka, di masa sekarang jika mau jujur, kita agak sulit melihat itu. Kalau dulu harus melawan peluru, penindasan, penjajahan, dan tekanan dari bangsa lain, yang saya yakin itu lebih berat dari apa pun juga karena selalu nyawa yang menjadi taruhannya, maka di masa sekarang, meski yang menjadi taruhan bukan lagi nyawa, adakah kita melihat bagian dari para pemimpin kita yang benar-benar memperjuangkan kesempatan mendapatkan pendidikan yang layak bagi rakyatnya?




Kemajuan suatu bangsa sudah dipahami bersama akan melaju jika pendidikan tersebar merata. Tetapi para pemimpin kita di masa sekarang, hanya sibuk mengoles-oles lapisan terluar dari pekerjaan mereka tanpa mau menggali lebih dalam dan sedikit lebih berat berpikir demi kemajuan pendidikan generasi penerus bangsa ini. Bagi yang memiliki penghasilan, setiap menjelang awal tahun ajaran baru sudah harus sibuk mencari sekolah bagi anak-anaknya meski tahun ajaran baru itu baru akan dimulai berbulan-bulan kemudian. Mencari sekolah yang bermutu tetapi dengan biaya tidak mencekik leher rasanya agak mustahil di jaman sekarang. Yang tak mampu membiayai sekolah? Terpaksa terlantar menanti uluran tangan orang-orang yang rela menyisihkan sebagian rejekinya. Bahkan mungkin saat saya masih sekolah dulu, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan lebih baik daripada di masa sekarang! Jadi, kalau di masa saya kecil dulu ternyata mencari sekolah lebih mudah, dan sekarang menjadi sulit, bukankah ini sebuah kemunduran? Berapa tahun kita harus mundur? Kesulitan mendapatkan pendidikan kembali menjadi trend, padahal itu adalah trend di jaman penjajahan!




Bagaimana dengan program sekolah gratis yang dicanangkan negara melalui dana BOS? Sepertinya juga hanya polesannya yang terlihat.


Kita butuh Ki Hadjar Dewantara baru, yang akan mampu memberikan kekuatan dan nyanyian baru bagi dunia pendidikan di negeri ini. Adakah kita akan temukan itu di masa sekarang? Jika negara memang tak mampu memberikan fasilitas pendidikan yang merata bagi warga negaranya, berterus-teranglah kepada masyarakat. Siapa tahu di antara masyarakat kita masih ada Ki Hadjar Dewantara lainnya yang selama ini bahkan luput dari perhatian negara bahkan untuk sepatah ungkapan terima kasih?



Selamat Hari Jadi, Ki Hadjar Dewantara. Jasamu selalu dikenang seluruh rakyat Indonesia. Seandainya saja semboyanmu bukan hanya penghias bibir dan dinding kantor-kantor pemerintah, seandainya saja para pemimpin Indonesia benar-benar menerapkan semboyanmu dengan jujur, mungkin perjuanganmu dulu akan memberi hasil lebih dari sekarang.




“Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” – Ki Hadjar Dewantara







SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL 2013!

The Fact That We Live Alone

This article is dedicated to the people who sometimes forget that no one would be the best person to help except ourselves. If you’re now living in a happy live, you won’t need to read it.



When you wake up from your sleep, who do you think the person who really understands what you feel?
Only you. Yourself.
When you walk on the street, you see many people also walk around you. Some will walk toward you, some walk to the same directions. Do you think they know what you have in mind?
No.

You wouldn’t even know what they think. Each of them.
When you drive your car or your motorcycle, you would see many people do the same. Some would drive calmly, others drive emotionally. Do you think they would understand when you hit their vehicles because of your bad mood?
No.

They would only care to ask you for the damage you made.
How many heads would you see everyday? Hundreds. Thousands probably.
Have you ever realized that everyone was always busy with their own problems?
No need to think about hundred or thousand heads. Look around you. How many head you see now?
10? 5? 2? Or even 1? Is 1 including yours? You can’t even see yours! You would only be able to see your head when you look in the mirror!
Question : “why do people sometimes too busy to see others problem?”
Is it because they forget to look themselves in the mirror?
I don’t know. You don’t know either. Only the person him or herself who knows it.
So, when you have problems, don’t ever think that anyone should be involved too deep. As a person who understand better about yourself, you know that other people also have problems in their mind.
Is this article trying to ask you to be an individualist?
Not at all.

You see, as a human, naturally we need contacts with other people. However, not all contacts would result better for us. They could be worse many times.
At this point, you would see that your role as an individual would play a lot. Whether you would be a good or bad person, the result would depend on what you choose to be.
You sit side by side with your soulmate. Are you sure that she or he’d be able to see what you really see?
I don’t think so.
It’s you. Yourself.


Believe in yourself. That’s a very cliché and easy quote. Honestly, not too easy to do that.
I had once loosing it. I feel like floating anywhere I go. But then I remembered. Those are the times when I must remind myself to trust my own judgments and opinions, to keep my life focused.
Believe it or not, there was no one who could help me but myself!
I heard everyone’s comment, but I didn’t take any of them! All was coming back to me. Only me
.
I stood alone on my way. Tried to look. Nobody even saw me. Should I care about it?
Definitely, not.
There will be challenges to face and changes to make in my life, and it is up to me to accept t
hem.
I began to learn that relationship aren’t contracts and presents aren’t promises.
I began to accept my defeats with my head held up and my eyes opened with the grace of an adult, not the grief of a child.
I learnt to build my roads on today because tomorrows ground is too uncertain for plans.

So, I just plant my own garden and decorate my own soul instead of waiting for so
me one to bring me flowers.
Now I realize that I could be strong and have worth!
That’s the fact that in every single way of lives, we live alone, but not lonely. We have our own soul as our best friend!
© deeJourney • Theme by Maira G.